Maybe I should give up

31.8K 3.2K 670
                                    

"So, before you go,
Was there something I could've said to make your heart beat better?
If only I'd have known you had a storm to weather.
So, before you go,
Was there something I could've said to make it all stop hurting?
It kills me how your mind could make you feel so worthless." Lewis Capaldi - Before You Go.
***


"Berarti ke depannya kita akan sering bertemu."

"Benar, Om."

"Saya menunggu gebrakan yang akan kamu bawa ke dalam perusahaan."

"Terima kasih atas kepercayaannya."

"Bagaimana dengan Sagara? Selama ini kalian selalu bersama kan?"

Indi memperhatikan Sadendra yang berdiri tegap di samping Sangga. Pemuda itu tampak begitu tenang menghadapi pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan kepadanya. Dari percakapan itu Indi mengetahui kalau Sadendra tidak akan berangkat keluar negeri lagi. Pemuda itu sudah memutuskan untuk kembali dan bergabung dengan Sangga dalam mengurusi usaha keluarga.

Diam-diam Indi melirik Sagara yang terlihat menyimak percakapan saudara kembarnya. Ekspresi tenang pemuda itu menunjukkan kalau ia sudah mengetahui rencana kepulangan Sadendra. Kavi dan Sena juga tidak memperlihatkan tanda-tanda terkejut, menyisakan Indi yang kembali menundukkan kepala, karena menyadari hanya dirinya yang tak tahu apa-apa.

Perasaan sedih yang tiba-tiba menggores hati membuat Indi marah kepada dirinya sendiri. Kenapa pula ia harus merasa terluka, hanya karena Sadendra mengucilkannya? Bukankah sejak dulu ia memang tidak pernah dilibatkan di dalam masalah keluarga ini? Mereka akan berbicara, bertukar pikiran atau bahkan saling berdebat hingga memancing keributan, tapi Indi tidak pernah ikut serta di dalamnya. Ia hanya perlu duduk diam dan mendengarkan, atau bahkan diminta kembali ke dalam kamar, karena pendapatnya tidak dibutuhkan.

Memikirkan posisinya di dalam keluarga membuat Indi teringat pada Kai. Kecemburuan pemuda itu memang sulit untuk ditangani, tapi kesabarannya dalam mendengarkan, membuat Indi merasa dirinya berarti. Tidak jarang Kai membalas pendapatnya dengan bantahan, tapi Indi tidak keberatan, karena ia juga mengerti kalau tak semua keinginannya harus dikabulkan. Setidaknya ia sudah didengarkan.

Ingatan tentang Kai membuat Indi dilanda rindu. Dengan sikap hati-hati agar tak memancing kecurigaan, gadis itu melirik ke sana kemari, mencoba mencari sosok Kai di antara kerumunan tamu yang sudah berdatangan dan sedang menikmati hidangan. Seperti tahun-tahun sebelumnya pemuda itu datang bersama kedua orangtuanya, tapi Indi belum sempat menyapa mereka, karena sejak tadi ia masih terjebak di antara kenalan Sangga yang ingin mengucapkan selamat ulang tahun secara pribadi kepada pemilik acara.

"Selamat malam, Om. Selamat malam, Tante."

Jantung Indi mencelus karena indera pendengarnya mengenali suara itu. Tiba-tiba berharap dirinya mengalami masalah pendengaran, Indi menoleh ke arah sumber suara, lalu mundur selangkah karena Aga benar-benar ada di sana, sedang menyapa kedua orangtuanya.

"Tarangga Agha!" bahkan Sangga menyebutkan nama lengkap pria itu, "Kamu datang."

"Iya Om," Aga mengulas senyuman sopan, "Orangtua saya mengirimkan ucapan selamat untuk Om. Mereka juga meminta maaf karena berhalangan menghadiri acara ini."

"Om mengerti. Om mengerti." Kata Sangga dengan nada kebapakan, "Sebelumnya mereka sudah menghubungi dan perjalanan bisnis bukan sesuatu yang bisa ditunda apalagi dihindari."

Senyum Aga kembali terurai karena pengertian itu. Lalu seakan sadar seseorang tengah memelototinya, tiba-tiba saja pria itu berpaling ke arah Indi, yang tergeragap karena tak sempat menyelamatkan diri dari keadaan mengerikan ini.

JEDA - Slow UpdateWhere stories live. Discover now