02

25.8K 1.5K 104
                                    

Suasana ruang makan menjadi ketakutan pun kekesalan tersendiri bagi Jihye.

Usai menjalani hukuman dari pria jangkung yang duduk di seberangnya tanpa memedulikan atensi Jihye, gadis Park itu pun sama-sama tak mau membuka suara.

Ia melahap nasi goreng tergesa-gesa karena tidak sanggup harus berduaan dengan Jungkook yang masih memasang wajah galaknya.

Setelah suapan terakhir ia lahap, Jihye lekas meneguk air minum sampai habis dan beranjak dari kursi dengan susah payah.

“Apa ada kata-kata dariku yang menyuruhmu pergi?” Suara dingin Jungkook membuat gadis itu menghentikan langkah, lantas kembali duduk usai berdesis sakit di area intimnya.

Oppa ... mau pulang,” lirih Jihye sembari meremas jemari-jemarinya untuk menunggu jawaban dari Jungkook. Sayangnya, pria kepala tiga itu tidak menjawab dan hanya melemparinya dengan tatapan datar.

Jihye akhirnya melipat bibir ke dalam. Merasa dongkol karena Jungkook suka sekali mengabaikannya saat sedang marah. Apalagi pria itu selalu mengurungnya di dalam apartemen—dan sialnya, besok adalah hari libur sehingga Jihye kesulitan mencari sebuah alasan untuk angkat kaki dari apartemen Jungkook.

Sementara Jungkook menikmati makan malam dengan tenang, Jihye melipat kedua lengan di atas meja dan menopang pipinya di sana.

Maniknya memejam erat agar Jungkook mempersilakannya pergi dari ruang makan. Namun, seribu sayang karena Jungkook ditakdirkan dengan sikap cuek—hanya untuk Jihye.

Mari diperjelas. Jihye bahkan seringkali mengumpati dirinya sendiri setiap malam karena bisa jatuh ke dalam pesona pria jangkung yang sebelas tahun lebih tua darinya.

Sangat disayangkan karena ia hanya menjadi gadis simpanan yang dibutuhkan di atas ranjang—meskipun tak bohong, berkat Jungkook semua yang Jihye inginkan bisa dimiliki.

Jihye tidak menyesal telah menjadi gadis bodoh yang datang di tengah-tengah keluarga kecil Jungkook. Masa bodoh dengan hal itu, karena Jihye hanya butuh uang. Ya, memang Jihye ingin juga memiliki pria itu sepenuhnya.

Jungkook bilang, “Tidak ada sentuhan yang kau mulai. Semuanya hanya boleh dimulai dariku.” Dari sana Jihye sadar akan batasan-batasan yang seharusnya tak ia lewati.

Jungkook selalu menekankan bahwa Jihye adalah miliknya. Akan tetapi, Jihye tidak diperbolehkan menganggap Jungkook sebagai seseorang di hatinya. Padahal, Jihye berbohong jika ia tidak mencintai Jungkook.

Bagaimana tidak menaruh hati jika  Jungkook tak pernah absen mempermainkannya. Apalagi gadis yang akan lulus beberapa bulan lagi itu tidak pernah berpacaran sejak dulu. Jadi sangat mudah bagi Jihye untuk jatuh cinta pada seseorang hanya dengan perlakuan kecil.

Saat Jihye merasa air matanya hendak terjatuh membasahi pelipis, gadis itu buru-buru menelusupkan wajah di antara lengan agar Jungkook tidak dapat melihatnya.

Suara nyaring yang ditimbulkan dari sendok, garpu, serta piring nyatanya tidak dapat mengalahkan pikiran berat Jihye malam ini. Gadis itu tetap menangis dalam diam. Ia berusaha menyembunyikan seluruh kesakitannya di depan sang adam dan balik menyalahkan diri sendiri karena mau terjebak dalam tawaran menggiurkan Jungkook.

“Masuk kamar. Tidak ada pulang, malam ini.” Jungkook tiba-tiba bersuara setelah lama terdiam. Pria itu beranjak meninggalkan Jihye lebih dulu dan naik ke lantai dua untuk mengambil jaket kulitnya, kemudian kembali turun dan menatap Jihye yang kini membereskan ruang makan sendirian.

Kedua tangan pria itu terselip di balik saku celana jins. Lidahnya membahasi bibir sejenak sebelum berkata, “Aku akan menyuruh Namjoon ke sini untuk mengawasimu. Aku pulang.” Jihye tidak merespons. Lekas Jungkook mengeraskan rahangnya sembari memandangi punggung ramping gadisnya. “Ponselmu aku yang bawa.”

AFFAIRWhere stories live. Discover now