9. Maling Mesum

29 10 0
                                    


"Soalnya badan lo rata, nggak ada yang mau ama lo!" Aksa terbahak puas menatap raut wajah Lili yang berubah marah setelah sesaat tadi tampak tersipu.

"Kalo lo kesini cuma mau bikin gue kesel, mending lo pulang aja, deh!"

"Jangan gitu dong, Princess. Kalo gue pergi, nanti lo kesepian."

"Mending gue sendirian daripada di temenin setan kayak, lo!"

"Dosa, loh durhaka ama suami." Lili mengangkat toples kaca yang ada dimeja, bermaksud melemparnya ke kepala Aksa namun di tahan.

Sabar, sabar... Kalo gue bunuh dia di sini, gue nggak bakal kuat buang mayatnya sendirian.

"Nih, makan camilannya." di letakkan setoples kue nastar yang barusan ingin dia lempar di hadapan Aksa.

"Makasih, sayang." cowok itu membuka tutup toples lantas memakan kue nastar yang ada di dalamnya.

"Lo bisa masak, nggak?"

"Gue? Masak? Ya bisa dong!" mata cewek itu berbinar.

"Kalo gitu, masakin gue makanan sana. Gue laper." Aksa diam sejenak, tampak memikirkan sesuatu.

Cowok itu mengangguk setuju, "Gue masakin. Tapi ada syaratnya,"

"Apa?"

"Minta BH lo, dong! Satu aja."

"Kalo sekali lagi lo bercanda, gue injek pala, lo."

Cowok itu nyengir, "Nggak nakal lagi, deh."

Aksa berdiri mengekor di belakang Lili. Cewek itu membuka kulkas. "Masak apa aja, yang penting bisa gue makan."

Aksa mengangguk patuh. Cowok itu menatap Lili yang duduk di kursi, tampak begitu lemas. Di raihnya 3 butir telur, dan beberapa macam sayuran.

Dengan lincah dia memotong sayuran sayuran dari kulkas. Sesekali, dia mengeluarkan kata kata yang membuat Lili kesal.

Menunggu lebih dari 15 menit, Lili mengangkat wajah sayunya. "Udah?"

"Sebentar ya, nak. Papa belum selasai masak ini." Lili mendengus.

Baru saja bilang belum, tiba tiba cowok itu sudah meletakkan sepiring Omelet yang ditata cantik, membuat Lili yakin rasanya pasti secantik tampilannya.

Cewek itu meraih sendok, kemudian melahap omelet buatan Aksa yang mendadak jadi Cheff.

Satu kali kunyahan, masih belum terasa.

Dua kali kunyahan, mulai terasa aneh.

Tiga kali mengunyah, rasanya benar benar menyeramkan.

Cewek itu berlari ke tempat sampah dan memuntahkan makanan di mulutnya.

"Lo masukin apaan, sih? Rasanya busuk banget, tau! Lo bisa masak nggak, sebenernya?"

Cowok itu mengangguk lugu, "Bisa kok. Gue bisa masak, tapi gue nggak bilang masakan gue bisa di makan."

Lili menjatuhkan diri dilantai kemudian meraung raung. "Gue bacain Ayat Kursy, mau? Lo kerasukan arwah Spongebob kayaknya."

"Bacain cerita dua satu plus plus aja, gimana?" Aksa menaik turunkan alisnya, membuat Lili menutup wajah frustasi.

Cewek itu menurunkan telapak tangan ketika mendengar suara bel rumahnya yang di pencet. "Bentar ya, prin. Lo tunggu sini aja."

Aksa berjalan cepat menuju pintu. Cowok itu membuka pintu. Jadi, Aksa memesan makanan lewat jasa online ya?

Lili jadi terharu. Meskipun membuatnya kesal, cowok itu tetap memesankan makanan untuknya.

Cowok itu memberikan beberapa lembar uang kepada sang pengantar makanan, kemudian berjalan mendekati sofa. Di letakkan dua kresek putih berisi makanan itu di meja.

"Lo ngapain masih ngelesot di lantai? Katanya laper?"

Lili segera bangun dari posisi duduknya. Di hampiri cowok yang tengah membuka kotak kotak makanan. Dia duduk di samping Aksa.

"Lo kapan pesennya?"

"Tadi, waktu lo ganti baju."

"Ngapain pesen?"

"Gue kan punya ikatan perasaan ama, lo. Jadi, ya gue tau lah kalo lo lagi kelaparan."

"Terus ngapain tadi masih mau mau aja gue suruh masak?"

"Karena gue cinta ama lo." Aksa meringis.

"Sinting."

***

Beberapa hari ini, sering ada panggilan masuk dari nomor yang tidak di kenalnya. Sudah diblokir, nomor yang lain memanggil. Lili jadi parno. Apa dia sedang di teror?

"Naf, kayaknya ada yang neror gue, deh."

"Neror lo? Lo kebanyakan nonton Spongebob li, makanya otak lo ikutan gesrek."

"Gue serius. Masa ada orang yang nelpon nelpon gue nggak jelas, sih. Itu kan, namanya teror."

"Aksa kali tu. Kan, dia sering banget gangguin lo." Lili berpikir sejenak.

"Apa iya ya?" Nafisa menganggukkan kepala yakin.

Tukk

Lili memegang kepalanya yang sedikit nyeri karena terkena lemparan kaleng Nescafe. Cewek itu berdecak lantas menoleh ke arah orang yang telah melemparnya.

"Yahh, gue salah ya? Gue kira lo tempat sampah, mirip sih!" Alda memasang wajah menyesal yang di buat buat, membuat Lili ingin menyentil bola matanya.

Kalau di balas, pasti urusannya akan bertambah panjang. Jadi, Lili memutuskan diam saja.

"Kok diem, sih? Sadar ya, kalo lo itu emang tempat sampah?" kali ini, Andin menimpali.

"Udah dong, kita kan sahabat, nggak usah berantem berantem gini lah." Lili melirik Nafisa yang mulai menengahi.

"Oh, lo mau bela dia? Terlalu lama deket deket dia, lo juga mulai keliatan sampahnya."

Nafisa terdiam, matanya berkaca kaca. Sepertinya, dia sakit hati. Diantara teman teman sekelasnya, Nafisa memang memiliki hati yang paling lembut, cewek itu mudah terbawa perasaan.

Lili berdiri, menarik tangan Nafisa pelan. Saat ini, yang ada di genggamannya cuma Nafisa. Dia tidak ingin Nafisa pergi seperti Alda dan Andin. "Kalo emang gue sama Nafisa tempat sampah, kita berdua nggak akan di kejar kejar cowok, dong! Punya otak buat mikir, bukan buat lap piring."

Lili membawa Nafisa ke belakang sekolah. Tempat yang identik dengan siswa siswi nakal. "Maaf ya, naf. Gara gara gue, lo ikut ikutan di musuhin sama mereka."

Masih sesenggukan, Nafisa berusaha menjawab. "Nggak a-pa apa, kok."

OasisDonde viven las historias. Descúbrelo ahora