13. Eksistensi

37 11 0
                                    

"Lili sudah bisa pulang ke rumah. Tapi, makanannya harus tetap di jaga. Istirahat yang cukup juga." seorang Dokter paruh baya menjelaskan keadaan Lili yang sudah membaik.

Namun, Lili justru mendesah kecewa. Dia tidak ingin pulang. Dia ingin tetap tinggal di Rumah Sakit.

"Iya, Dok. Makasih banyak." Berlia tersenyum ramah.

"Yasudah, saya permisi Bu." Dokter dengan jas putih itu berjalan ke luar ruangan di ikuti oleh tatapan Lili.

"Ma, besok besok aja gimana, pulangnya?" matanya menyorot penuh permohonan.

"Nggak bisa, Lili. Kalo ini Rumah Sakit punya Bapakmu nggak apa apa. Nah ini punya orang, semalem itu mesti bayar."

Sorot memelasnya berubah menjadi jengkel. Dia menghembuskan napas berkali kali.

"Makanya Papa suruh bangun Rumah Sakit, sana. Jangan bangun warung ayam ciken terus." bibirnya sesekali mendumel tidak jelas.

***

Pulang ke rumah, benar benar membuatnya bosan. Dengan suasana rumah yang begini begini saja, dia jadi punya pikiran untuk berteriak 'Maling!' supaya lebih ramai.

"Apa nonton film hantu aja, ya?" dia bertanya seolah ada seseorang yang dapat menjawab.

Lili menjentikkan jarinya di udara. Dia memutuskan untuk menyetel VCD yang minggu lalu di belinya.

Film berjudul 'Danur' itu mulai. Lili berbaring di kasur, larut dalam film. Cewek itu sesekali menggigit selimut saat ada adegan yang baginya menyeramkan.

Satu jam lebih berlalu. Film selesai.

Lili bangkit mematikan VCD tadi. Dia melangkah menuju dapur, mencari makanan.
Saat asik memilih makanan yang hendak di bawanya ke kamar, suara bel menggema.

Tidak ada Ayah maupun Ibunya, dia terpaksa membuka pintu sendiri. Sehabis menonton film Horror, dia jadi parno. Takut yang menekan bel adalah hantu.

Lili menghembuskan napas lega saat melihat kurir JNE berada di hadapannya. Nggak mungkin kan, hantu nyamar jadi kurir JNE?

"Mbak Liliana Cataleya, ada?" kurir tersebut bertanya sopan.

"Iya, saya Liliana. Ada apa ya?"

"Ini, ada paket buat, Mbak. Tolong tanda tangan di sini." Kurir tersebut pergi setelah Lili selesai bertanda tangan.

Lili masuk dan segera membuka kardus berukuran coklat yang ada di tangannya. Sebuket bunga. "Bunga kok, di kerdusin, ada ada aja." tetapi kemudian dia tersenyum.

"Nggak apa, deh. Berasa punya penggemar dalam diam jadinya. Siapa tau besok besok gue di kasih emas sekilo."

***

"Itu mirip Alda. Apa emang Alda? Tapi, kenapa nggak sekolah?" karena benar benar merasa bosan di rumah, Lili memutuskan kabur. Meskipun sudah di beri berbagai wejangan untuk banyak istirahat, tapi dia tetap tidak peduli. Kalau bosan, ya main. Jadi, berakirlah dia di Kafe dekat rumahnya.

Tapi, dia justru menemukan Alda yang sepertinya tidak dalam kondisi baik baik saja. Alda tengah duduk bersebrangan dengan seorang pria yang di taksir Lili sudah berumuh 40 an. Wajah Alda yang biasanya selalu cerah dengan baluran make up, kini kelihatan pucat. Alda yang biasanya selalu menggunakan pakaian modis saat hendak pergi ke WC pun saat ini tampak hanya menggunakan celana kain hitam dan kaos biru. Alda yang biasanya menggunakan high heels tinggi atau sepatu keluaran terbaru pun kini cuma memakai sandal jepit biasa. Benar benar bukan Alda yang biasa.

Lili mengamati dengan fokus setiap pergerakan Alda. Beberapa menit kemudian, ia menangis dengan kepala tertunduk. Bahunya bergoyang. Pria di hadapannya menepuk pelan bahu Alda, mungkin berusaha menenangkan. Selang beberapa detik, pria yang baru saja menepuk bahu Alda itu bangkit berdiri dan berjalan keluar kafe.

Lili mengetuk ngetukkan jarinya ke meja, berpikir. "Dia kan, jahat sama gue. Jadi,  ya masa bodo mau dia nangis." cewek dengan tangan terbalut perban itu mulai memakan pesanannya. Tapi lagi lagi, pikirannya terus terbayang tentang Alda. Ada masalah apa sebenarnya?

Sebenarnya, dia pun ingin membantu. Tapi, mengingat apa yang Alda lakukan padanya membuat ia urung untuk membantu. Lili memutuskan pergi dari Kafe yang saat ini di singgahinya. Kalau terus terusan di sini, dia yakin akan semakin penasaran.

Belum sempat berdiri, HP miliknya berdering, membuatnya urung untuk pergi. Nomor tidak di kenal. "Halo?"

Lili mengernyit, mencoba menerka nerka suara di sebrang. Suara berat, pasti seorang cowok. "Iya?"

"Lo siapa?"

Yang menelpon siapa, yang bertanya siapa. Lili berusaha menahan kesal. Bisa hancur eksintesinya sebagai cewek ramah. "Lili. Lo?"

ang di sebrang menghela napas pelan, "Riki. Adik tingkat lo."

"Jadi, lo sekolah di PHS juga?"

"Iya. Denger denger, lo sakit ya, Kak?"

Lili menggeleng, lupa kalau Riki tidak bisa melihatnya. "Cuma jatoh aja, kok."

"Istirahat yang banyak kak, biar cepet sembuh."

Lili mengangguk, lagi lagi lupa kalau Riki tidak bisa melihatnya. "Ada perlu apa nelpon gue?"

"Bulan depan, gue ikut lomba cerdas cermat, gue megang IPA. Kata bu Indri, kakak pernah juara di lomba cerdas cermat. Jadi, bisa nggak ajarin gue?"

Lili menjauhkah HP nya, kemudian mengucapkan beberapa sumpah serapah. Malas sekali kalau harus mengajari orang. Tapi, lagi lagi dia harus mempertahankan eksistensinya sebagai cewek baik hati. "Mm, gue pikir pikir dulu ya."

"Kalo emang nggak bisa, nggak papa, kok."

"Gue usahain bisa. Ada yang lain?"

"Nggak ada kak. Yaudah, gue tutup. Makasih."

Lili meletakkan HP nya kasar. Belajar di kelas saja sudah bosan. sekarang dia malah di minta mengajari anak orang?

"Mati aja, dah gue."

OasisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang