18. Anggap Aku

35 6 2
                                    


-Ayo berjuang sama sama. Kamu dengan perasaanmu untuknya, dan aku dengan perasaanku untukmu.-


Katanya, setelah ada badai akan ada pelangi. Tapi, kenapa pelangi masih tak kunjung muncul? Kapan badai ini akan mereda?

Alda merasa bahwa segalanya terlalu rumit, terlalu pahit. Dia sudah muak. Dirinya ingin semua ini segera berakhir.

Pelan pelan, kakinya melangkah mendekati trotoar yang padat dengan kendaraan. Tatapannya kosong. Sedikit lagi. Bibirnya mengukir senyum penuh luka. Selangkah lagi. "Jangan mati dulu."

Alda berhenti melangkah dan berbalik. Sebuah tangan menarik pelan lengannya. Rambut sebahu ini, bau parfum ini, suara ini, ini Lili. Sontak Alda menarik kasar lengannya.

"Jangan mati." Lili berujar santai, sama seperti tadi. Wajahnya tidak menunjukkan kepanikan. "Apa apaan sih, lo. Siapa juga yang mau bunuh diri,"

"Temenin gue makan, yuk." Alda mengernyit tidak paham, "Lo lupa kalo kita lagi musuhan?"

"Iya, gue lupa. Yaudah, ayo temenin gue makan."

Lili menggenggam tangan Alda, membawanya menuju restoran terdekat. Untung saja tadi dia keluar rumah membawa kartu kredit. Kalau tidak, mau jadi tukang cuci piring di sini?

Sebenarnya, tadi Lili tidak sengaja melihat seseorang yang tampak putus asa. Dia sama sekali tidak mengira kalau itu Alda. Terlambat sedikit saja, pasti sekarang Alda sudah tidak bernyawa.

Makanan datang. Lili mempersilahkan Alda untuk makan. Keadaan terasa begitu canggung.

"Alda," Lili melirih, merasa risih dengan keadaan hening yang tidak mengenakkan. "Hm?"

Lili berpikir sejenak. Rencananya, setelah ini dia mau mengajak Alda untuk melakukan kegiatan tidak berguna. Kalau dilakukan di sini, pasti memalukan. Lili berdiri dan membayar ke kasir. "Ayo." ajaknya usai membayar.

Alda diam saja mengikuti langkah Lili yang semakin mendekati taman kota. Cewek itu ikut berhenti saat mantan temannya itu berhenti.

Tanpa aba aba, Lili memeluk Alda erat. Alda sedikit terkejut, dia agak meronta, merasa tidak nyaman karena Lili menyentuh pengait bra miliknya. Malu coy!

"Bilang sama gue, bilang sama gue kalo lo emang lagi punya beban, al."

Alda mulai diam saat tangan Lili berpindah posisi. Dia mulai larut dalam pelukan Lili. "Kali emang lo butuh bantuan, bilang sama gue. Ceritain apapun yang pengen lo ceritain, gue bakal dengerin."

Perlahan, Alda terisak pelan. Bahkan, Andin saja bersikap tidak mau tahu saat Alda tengah Krisis semangat hidup layaknya sekarang. Tapi, kenapa harus Lili? Kenapa orang yang begitu ia benci yang harus memberi uluran saat dia tengah rapuh?

"Sa-kit," sepatah kata keluar, sekalipun begitu sulit.

"Iya, gue tau lo lagi sakit. Makanya sekarang lo bilang sama gue, gue bakal bantu kalo emang gue mampu. Lo punya gue, Alda. Lo punya Nafisa, punya Andin."

"Sakit, Lili."

Sukses deh, gue bikin adegan menye menye kayak gini

"Mama gue per-gi, pa-pa nikah siri. Gue pe-ngen mati," Lili diam, berpikir kata apa yang tepat untuk menenangkan Alda. "Yaudah, sana bunuh diri,"

Alda mengangkat kepala, memandang tajam pada Lili. Yang ditatap justru cungar cungir tidak jelas, "Nggak serius, kok."

"Gini, da. Kalo buat urusan kayak gini, gue emang nggak bisa ngapa ngapain. Tapi gue cuma bisa kasih semangat sama lo. Itu semua takdir, da. Gue nggak pernah tau gimana rasanya jadi lo, tapi gue tau itu sakit. Tapi gue tau lo pasti kuat. Jangan jadi cewek cemen yang menggapai kematian sebelum waktunya."

Lili mengetuk ngetuk dahi Alda dengan jari tengah, "Dengerin, terus pikirin. Besok pagi, gue nggak mau liat TV terus ada berita cewek umur 18 tahun atas nama Alda Varania ditemuin gantung diri dipohon pete."

Sebelum pergi, Lili berusaha memberikan senyum terbaiknya di depan Alda. Setidaknya, sekalipun esok pagi dia harus mendengar berita Alda mati bunuh diri, dia sudah mengulur waktu kematiannya, sekalipun hanya beberapa jam.

***

Sore ini, hujan turun dengan begitu lebatnya. Lili mulai kedinginan. Dia mengusap lengannya untuk meringankan dingin yang semakin menusuk. Elang bilang, sore ini dia akan menjemputnya. Katanya, pukul 15.00 dia akan datang. Tapi, kenapa sampai pukul 15.30 masih belum datang juga?

Lili mulai ragu. Bagaimana kalau Elang lupa? "Ayo pulang sama gue!"

Lili mengangkat kepala, Aksa tengah berteriak dari dalam taksi. Cewek itu menggeleng lemah, masih berusaha meneguhkan hati bahwa Elang akan datang menjemputnya. Ini, adalah kali pertama Elang mengatakan kalau dia kan menjemput Lili. Jadi, terlalu disayangkan kalau disia siakan. "Lo mau nungguin siapa sih, prin?"

"Elang." balasnya lirih, namun Aksa menangkap jelas gerak bibirnya. Mendadak, perasaan Aksa jadi muram. Tapi sebisa mungkin ia bersikap biasa saja.

Cowok itu turun usai memberikan uang pada sopir taksi. Dia duduk di samping Lili. "Dia janjinya jam berapa?"

"Jam tiga."

"Yaudah, gue temenin ampe dia dateng."

Lili menengok ke samping, "Kenapa?"

"Soalnya, gue kan suami yang sayang ma istri, jadi mana mungkin gue biarin istri gue nunggu selingkuhannya sendirian," Aksa terbahak, bertolak belakang dengan isi hatinya.

"Lo tau bangke nggak, sa?"

"Tau."

"Bikin jijik, kan?"

Aksa mengangguk, "Iya."

"Mm, sama kayak lo."

"Gitu ya," Aksa mengelus dagunya, "Lo tau merak nggak, prin?"

Lili berdeha malas, "Cantik, kan?"

"Iya, kayak gue."

"Iya, kayak lo. Tapi meskipun cantik, tetep aja tainya bau." Aksa lagi lagi terbahak, membuat Lili ingin menendangnya kejalanan.

Waktu terus berlalu. Kehadiran Aksa, membuat Lili cukup teralihkan dari hawa dingin. Lelucon lelucon Aksa, sekalipun menyebalkan, namun juga mampu membuat Lili tertawa.

Rintik hujan perlahan berkurang, hingga sampai akhirnya tiada satupun air yang menentes dari langit yang tengah kelabu.

"Udah jam empat, prin, lo masih nggak mau pulang?"

"Sebentar," Lili melirik gelisah kejalanan, belum ada tanda tanda kedatangan Elang, dia menghela napas kecewa, namun masih belum putus asa. Aksa memperhatikan. Merasa bahwa hatinya sedikit tersayat.

Sebuah motor hitam berhenti, Lili cepat cepat mendongak. Dia tersenyum lebar. Elangnya sudah datang.

Cewek itu berdiri mendekat pada Elang. "Maaf ya lama. Tadi gue mesti bantuin anak OSIS junior buat bikin susunan acara pelantikan."

Lili tersenyum. "Mm, nggak apa apa."

Elang balas tersenyum, "Ayo pulang."

Lili naik, memeluk perut Elang tanpa perlu diminta. Saat keduanya pergi, Aksa menatap hingga motor hitam itu hilang dari pandangannya.

Agak sakit, sih. Tapi untuk Lili, dia pasti bertahan.

OasisWhere stories live. Discover now