16. Jangan Ikut

36 8 0
                                    


-Dia bikin najis. Yaudah, gue bikin abis.-

Tadinya, matanya sudah berkaca kaca. Tapi mendengar Elang bicara seperti itu, air matanya seakan tersedot kembali. Dia berjalan penuh semangat. Tidak peduli Elang akan menilainya bagaimana. Tidak peduli Elang akan tahu kalau dia menyimpan rasa padanya.

"Pegangan." sekalipun saat itu pernah di beri perintah yang sama, Lili tetap sungkan untuk melingkarkan tangan di perut Elang yang menggoda imannya itu. Cewek itu memilih mencengkram pelan seragam cowok di depannya, dengan satu tangan tentunya.

Lili menengok Elang lewat kaca sepion. Kenapa dia belum menjalankan motor?
"Kok, nggak jalan?"

"Badannya nggak mau gerak kalo pegangannya nggak bener." Lili mendesis, namun juga tertawa setelahnya.

"Nah, kalo gini baru bener." Elang mulai menghidupkan mesin motor sesaat setelah Lili benar benar melingkarkan sebelah tangannya.

"Tangan lo kapan sembuhnya, Li?"

Lili menggeleng, "Nggak tau, gue belum periksa lagi."

"Jadwal periksanya kapan?" Lili mengingat ingat, baru sadar kalau jadwa periksanya adalah nanti malam. "Nanti malem."

Dengan fokus tetap pada jalanan, Elang tersenyum. "Gue anter, boleh?''

Sedikit terkejut dengan penawaran Elang, Lili mulai berpikir keras. Setuju atau tidak, ya? Sayang kalau kesempatan berlian seperti ini ditolak. Sudah menyukai Elang selama 3 tahun, masa saat dibukakan pintu tidak mau masuk?

"Mm. Boleh. Jam 8."

***

Lagi lagi, Lili mendapati Alda menangis. Kali ini, ditaman sekolah. Kalau pagi pagi seperti ini, taman sekolah memang selalu sepi.

Lili tidak tahan. Dia sudah tidak bisa berdiam diri lagi. Dengan pelan dia melangkah mendekati Alda yang masih belum sadar akan keberadaannya. Lili duduk, Alda mendongak. Alda buru buru berdiri, namun lengannya dengan cepat di tarik oleh Lili.

"Cerita sama gue. Lo kenapa sering nangis?"

Alda tersenyum meremehkan, "Nggak usah sok baik. Lo itu munafik, li. Pura pura baik, padahal aslinya licik."

Lili tersenyum, "Mm, gue emang munafik. Jadi, bisa lo cerita sama orang munafik ini?"

Cewek yang baru saja menangis itu melengos, "Nggak. Gue jijik soalnya sama orang munafik." Alda melenggang pergi usai menghempaskan kasar tangan Lili.

Diratapi kepergian Alda dengan perasaan biasa saja. Selama ini, dia memang selalu berusaha terlihat baik di depan semua orang. Segala hal dia lakukan demi ternilai baik di mata semua orang. Apapun, pasti dia lakukan supaya semua orang menyukainya.

"Prin." Lili menghembuskan napas letih. "Lo lagi. Lo lagi. Lo lagi. Lo terus."

Aksa menopangkan kedua kakinya di atas paha Lili, dia menatap Lili dengan sorot gemas. "Gue kangen lo, istri."

Lili mendorong kasar kaki aksa, "Jangan ganggu gue, gue capek." saat hendak berdiri, Aksa menarik keras lengannya sampai ia kembali lagi pada posisi sebelumnya.

"Prin, temen bajingan lo lagi ada banyak masalah. Dia lagi butuh temen. Jangan tinggalin dia, ya? Gue tau dia jahat ama lo. Tapi, Princess gue kan baik, pasti lo bakal tolongin dia."

Dengan mata menyipit, Lili menaruh curiga besar pada Aksa. "Lo tau masalahnya Alda?"

Aksa menggeleng lugu, "No."

"Aksa."

"Hm?"

"Gue munafik, ya?"

"Iya. Princess emang munafik, tapi tetep cantik."

OasisWhere stories live. Discover now