Bab 2 : Tempat Baru, Pengalaman Baru

433 58 52
                                    

Sudah hampir satu minggu sejak ujian masuk dilaksanakan. Di hari-hari aku tidak keluar rumah, hal yang kulakukan hanyalah menemani kasur agar ia tidak kesepian. Hampir seluruh waktu kuhabiskan untuk tidur. Mama bahkan menegurku kalau aku terlelap seperti orang mati.

Hari ini hari Minggu. Seharusnya aku bersantai ria dan berduaan dengan kasur, tetapi sesuatu terjadi. Aku harus membereskan barang-barang seperti akan minggat. Memasukkan pakaian ke dalam koper, membawa barang kebutuhan pribadi dan yang lainnya. Mama membantuku seolah senang aku akan meninggalkan rumah dalam waktu yang lama.

"Tentu saja Mama sedih," kata Mama saat aku menanyakan bagaimana perasaannya ketika tahu aku akan pergi. "Memikirkanmu akan hidup sendiri membuat Mama khawatir," tambahnya.

"Ma, aku cuma tinggal di asrama. Saat akhir pekan aku akan liburan ke sini," kataku menenangkan. "Jangan berlebihan, deh." Mama hanya tertawa mendengar jawabanku.

Besok aku sudah harus ada di asrama. Tiga hari berikutnya adalah masa orientasi. Dan minggu depan aku sudah resmi menjadi siswi SMA Scienta et Social! Aku tidak menyangka, akhirnya hari ini akan tiba juga. Setelah selesai dengan ujian-ujian yang membuat otakku tersiksa, akhirnya aku bisa menjadi siswi SMA biasa.

"Chloe, kau sudah siap?" tanya Papa setengah berteriak dari lantai bawah.

"Sebentar!" jawabku sambil masih memasukkan barang pribadi seperti handuk dan sisir.

"Apa ini tidak berlebihan?" tanya Mama melihat barang bawaanku. Dua buah koper besar dan satu ransel. Aku memperhatikan barang-barang milikku.

"Kurasa tidak," jawabku enteng. Ini adalah barang-barang yang akan aku butuhkan di asrama nanti. Ya, setidaknya itu yang kupikirkan.

Mama membantuku membawa satu koper yang paling besar berisi pakaian. Sementara aku membawa ransel dan koper yang berisi barang-barang kebutuhan sehari-hari seperti make-up—hei, aku juga perempuan, butuh dandan—selimut darurat, buku-buku bacaan seperti komik dan novel dan barang lainnya. Aku baru sadar kalau ternyata barang bawaanku sangat berat sampai harus diseret agar bisa bergerak. Aku sendiri tidak sadar sudah memasukkan banyak barang ke dalam satu tempat. Sekarang yang harus kulakukan adalah membawa mereka melewati tangga dengan hati-hati dan selamat.

Dengan susah payah kuturuni tangga satu per satu agar aku dan koper tidak tergelincir dan menggagalkan rencana untuk pergi. Aku tidak mau masa studiku terhambat hanya karena koper yang tidak sabaran.

"Sudah semua?" tanya Papa yang melihatku selesai meletakkan barang-barang di jok belakang.

"Sudah," jawabku sambil meregangkan pinggang.

"Tidak ada yang terlupa, kan?"

"Tidak, Pa."

"Bagus."

Setelah berpamitan dengan Mama disertai sedikit nasihat agar aku jangan nakal dan semacamnya, aku pun masuk ke mobil dan melambai tanda akan pergi. Klakson mobil dibunyikan dua kali kemudian kami meluncur. Ada sedikit rasa sedih saat melihat Mama dari kaca spion samping. Tangannya yang ramping masih melambai ke arah aku pergi.

"Tidak perlu menangis," kata Papa mengagetkanku.

"Aku tidak menangis," timpalku sambil mengusap mata.

Papa tersenyum mengerti. "Nanti juga kau akan liburan saat akhir pekan, kan?"

"Tentu saja."

"Papa akan merindukanmu."

Tidak ada lagi percakapan yang berarti di antara kami. Papa kembali fokus ke jalanan dan aku ke langit biru tanpa awan.

Aku memperhatikan apa yang terlintas di depanku. Gedung-gedung pencakar langit berwarna putih sampai metalik dengan bentuk yang unik—salah satunya seperti dipuntir—berjajar di mana-mana; menghalangi cahaya matahari untuk menembus kota. Drone-drone pengantar paket beterbangan dengan bebas. Sesekali aku bisa melihat kereta peluru yang sangat cepat seperti namanya karena gaya gesek yang nihil sehingga pergerakannya efektif (Hei, begini-begini aku suka membaca, jadi tahu tentang teknologi). Kereta yang kulihat berada di jalur layang khusus. Sama sekali tidak bersentuhan dengan jalur di bawahnya. Hanya dihubungkan dengan tiang penyangga. Saat kami melewati jalan yang dilalui jalur layang itu—kami persis berada di bawahnya—aku dapat melihat bagian bawah jalur itu yang ternyata masih terdapat rel yang menempel. Aku takjub saat ada kereta meluncur dan melihatnya seperti menggantung. Aku sendiri takut kereta itu akan terlepas dari jalurnya dan jatuh.

Avatar System: Juvenile State (END)Where stories live. Discover now