Bab 15 : Dungeon

194 29 46
                                    

Lagi-lagi, aku dibuat ternganga dengan sistem ujian. Ruangan yang kumasuki untuk pemilihan arena berbentuk seperti bagian dalam kuil. Dindingnya seperti terbuat dari batu. Ada ukiran-ukiran kuno yang menghias. Sepertinya menceritakan kisah-kisah epik yang aku tidak tahu. Langit-langitnya mengerucut membentuk segi lima. Ada patung-patung menakutkan berdiri di sekitarku. Cahaya obor yang temaram menambah suasana mistis di dalam sini.

Sebuah layar antarmuka muncul di hadapanku yang tengah memproses rasa kagum sekaligus takut.

[PETUNJUK]

PILIHANMU MENENTUKAN JALAN TAKDIR.

Pilih salah satu patung yang tersedia. Jawab pertanyaannya. Mereka akan menuntunmu ke jalan yang tepat.


Ini tidak seperti yang kubayangkan. Kenapa semuanya menjadi semakin rumit saja? Menyebalkan. Aku menutup antarmuka itu dan antarmuka lainnya muncul. Layar dengan gambar patung-patung di depanku.

Aku menggulirkan gambar-gambar itu. Gambar patung-patung mitologi dengan deskripsi singkat di bawahnya. Sfinks: Sang Penjaga Kota Manusia; Feniks: Sang Burung Api Legendaris; Titania: Sang Ratu Para Fae; Chiron: Sang Kentaur Bijaksana; Longwang: Sang Raja Para Naga.

Patung-patung itu sangat menakutkan. Demi berlangsungnya ujian ini, aku harus kuat! Aku mencoba memilih salah satu yang cukup terlihat “ramah”. Titania: Sang Ratu Para Fae.

Suara retakan patung batu disusul getaran kecil muncul sesaat setelah aku memilih gambar sang Ratu. Dari patung batunya, keluar kerlip cahaya seperti debu peri berwarna keemasan yang terus naik sampai akhirnya berkumpul di satu titik. Titik-titik cahaya itu kemudian turun perlahan, memadat sampai membentuk sebuah figur yang solid.

Figur itu putih bagaikan porselen, berkilau saat terkena cahaya obor. Wajahnya seperti topeng, tidak memiliki mulut dan hidung—apa yang kusadari sebagai hidung lebih mirip perosotan anak TK—matanya pun seperti hanya berupa sketsa garis luar, tanpa ada pupil maupun iris. Telinga yang ada terlihat runcing dan panjang, tetapi tidak membuatnya menjadi terkesan aneh. Rambut sang Ratu yang seperti selembut sutra disisir ke belakang dan dihiasi mahkota bertekstur kayu.

Sang Ratu menjulang cukup tinggi, mungkin tingginya kira-kira tiga meter. Gaun biru muda yang dikenakan terlihat bercahaya dengan aksen berwarna emas di bagian pinggir dengan ikat pinggang berwarna senada. Dua pasang sayap seperti serangga berwarna hijau emerald menghiasi bagian belakangnya membentuk huruf X. Tangannya terulur menggambarkan keterbukaan. Aku seperti melihat seorang dewi—meskipun agak aneh dengan semua bagian wajah tak biasanya itu—alih-alih seorang ratu.

Suara selembut bisikan angin muncul dalam benakku. Kulihat sekeliling, tetapi tidak ada seorang pun selain aku dan para patung. Aku melihat kembali kepada sang Ratu. Ia tengah menunduk ke bawah.

“Apa yang bila diberi satu, maka akan mendapatkan dua atau tidak sama sekali?”

Apa itu teka-teki yang dimaksud? Oh, sepertinya aku tahu jawabannya. Persis ada di ujung lidahku. Uh, itu apa namanya saat kau harus memilih sesuatu? Ah, pilih—

“Waktu habis. Kau tidak menjawab pertanyaanku, Manusia.”

“Apa?! Aku baru saja mau menjawabnya! Jawabannya itu pilihan! Pilihan!” Aku mencak-mencak. Sepertinya aku hanya diberi waktu lima detik untuk menjawab.

Titania tidak menggubrisku. Sang Ratu mulai pudar kembali ke bentuk titik cahayanya dan perlahan memudar dari bawah ke atas.

Kucoba sekali lagi. Kupilih patung “ramah” lainnya: Chiron. Seperti sebelumnya, patungnya retak, keluar cahaya menyilaukan bersama dengan manusia setengah kuda yang memakai baju zirah. Pria-kuda itu meringkik sebelum akhirnya berderap ke arahku. Chiron seperti pria tua berumur empat puluhan dengan janggut dan cambang yang cukup tebal. Manusia setengah hewan itu mulai membuka mulut.

Avatar System: Juvenile State (END)Where stories live. Discover now