1

30.8K 1K 220
                                    

Cerita ini mengandung unsur tak senonoh, gay, kekerasan, macam macam, dah, yah. Udah gue ingetin pokonya. Kalau lu pada jadi stress abis baca, nih, buku.  Jangan ngamuk-ngamuk ke gue.

Selamat Membaca,
Sayang-Sayangku.



By : Abraham

==================================

Ngurah POV


ENAM TAHUN TELAH BERLALU

Tak bosan aku memandang garis wajahmu yang semakin membekas tanpa pola yang teratur,
Seperti liar mereka mencuri celah menghapus senyum yang sejak dulu mencuri hatiku.

Berharap pasrah, aku melepas kuat jemarimu,
Namun semakin kucoba lepas,
Semakin pahit yang aku rasa.

Usaha yang selalu gagal dan kau akan selalu terlihat indah.

Aku tak akan bosan mengenang,
Tidak kenal lelah merindu,
Sehebat ini, kah, anugrah cinta yang menyakitkan?

Membelah bumi,
Menantang matahari,
Aku sanggup murka pada tuhan,
Jika berani mengharamkan cintaku padamu!

"Ahh... Ahhh.. Aaaarrrrrgggggg..." Pelacur ini terus menjerit tiada henti. Hahaha...

Vaginanya sempit. Aku suka. Semakin dia menjerit semakin kunikmati setiap detiknya. Tubuh moleknya kugendong dengan tangan kiriku, payudara indah itu bergoyang hebat ketika kutusuk maju dan mundur vaginanya yang nikmat ini.

"Ampuuun... AARGGGHH..."
Gigiku sudah beradu dengan bunyi mengeretak karena kenikmatan.

Kupaksakan seluruh batang kelamin beruratku ini masuk seutuhnya menyetubuhi Pelacur cantik di depanku.

"Arrrghhh... ah... ah..." jeritannya makin lemah.

"Tahan, Dek Yinto. Nang aja, Bli akan memberikan semuanya untukmu."

".........."

Kenapa dia diam?!

"Bli masih disini, Dek. Mencintaimu seutuhnya."

".........."

Dia tetap diam.

Tiba-tiba raut wajah Rinto berubah menjadi sosok perempuan yang sudah terkulai lemas di tanganku. Fuck! Dasar sinting! Otakku sudah tidak waras lagi. Entah setan mana yang merasukiku? Seolah-olah Pelacur ini bisa menjelma menjadi Rinto. Semakin aku berusaha menghilangkan wajah tampan anak itu dari pikiranku, semakin kuat dia menghantuiku.

Kucabut batang kelamin besarku dari vagina sempitnya, ada darah segar keluar dari sana, lalu kuletakkan Pelacur lemah ini keatas kasur.
Aku duduk dengan kelaminku yang masih berdiri tegak. Tanganku memegang kepalaku sendiri. Di pikiranku hanya satu hal saat ini,

Dimana kamu, Dek?
Bagaimana kabarmu?

Rinto memenuhi setiap sudut ruang kepalaku. Membuat hatiku terasa sakit setiap detiknya.

Enam tahun Bli bertahan dan berusaha menjauh darimu. Berusaha melupakanmu. Tapi semakin ingin Bli lupakan, semakin Bli ingat setiap detik kebersamaan kita.
Dulu setiap kali kamu tertidur, Bli sering menyelinap diam-diam ke kamarmu. Mengangkat tubuh lembut halusmu, meletakkanmu dalam pelukan Bli.
Tahu, kah, kamu? Saat kamu marah-marah, wajah tampanmu makin membuat Bli bergetar hebat, membuat Bli jadi susah tidur.

Sebenarnya sinyal cinta sudah Bli tunjukkan dari pertama kali kita bertemu, Dek.
Saat Bli menatap takjub tubuh telanjangmu di depan kamar mandi. Ingin rasanya aku menerkam lalu memperekosamu saat itu juga! Tapi wajah Abang Haikal menghantui dan membuat langkahku untuk mencintaimu terhenti. Rasa hormat dan sayangku ke Abang Haikal, lah, yang selalu mampu membentengi rasa cintaku padamu.
Aku tidak bisa mengkhianatinya. Tugasku hanya menajagamu, Dek. Aku tidak boleh mencintaimu.

Tapi kini, PERSETAN DENGAN SEMUANYA!!! Aku rela membelah bumi ini hanya untuk mendapatkan cintamu.

Sampai ke neraka sekalipun!

Kutaruh uang dan secarik kertas di samping bantal dekat Pelacur yang sudah pingsan itu. Mengambil Pulpen lalu menuliskan kata "Maaf" di secarik kertas.
Memaksakan celana ini masuk dan mengkondisikan kelamin besarku yang masih berdiri, nyaris membuat sobek celana sempit ini. Kutarik kaos dan jaket Denim-ku lalu melaju pergi dengan angin pagi yang menghembus bali di subuh hari.

Amarah? Entah kenapa aku harus marah? Emosiku meledak saat ini! Aku butuh tempat melampiaskannya lagi hari ini.
Tujuanku hanya satu,

IRON CRUSH

Sebuah bengkel tempat pelumat dan penghancur besi yang ada di Bali.

Motorku tepat berhenti di depan bengkel besar ini. Gerbangnya dirantai dengan gembok besar. Aku mendekat dan hanya dengan sekali tarik, rantai besar dan gemboknya menyerah dengan kekuatanku.
Aku masuk, membuka baju dan langsung mengamuk sejadi-jadinya di dalam sana. Tinjuku melumat dan menghancurkan setiap dinding dari mobil rusak di depanku.
Kuangkat bangkai mobil itu dan kubanting ke tanah, lalu kuangkat dan kupeluk dalam dekapan super kuatku, dia lemah, lembut dan hancur di dalam pelukanku.

Kesetanan? Iya, aku sudah kesetanan! Membabi buta tanpa arah.
Aku butuh ini agar bisa lepas dan bebas dari amarah yang aku sendiri tak tahu sebabnya.

"Ngurah! Nanaonan iye, teh?" suara khas orang Sunda datang dari belakangku.
Dalam keadaan memanggul mobil di bahu, aku memutarkan badanku ke belakang.

Mang Ucup, pemilik bengkel bercagak pinggang di depanku.

BRAK!!!
Kubanting mobil itu ke tanah.

"Kamu teh, kenapa hancurin gembok Mamang? Mamang, kan, udah bilang, kuncinya ada di bawah Pot Bunga." Mang Ucup marah-marah.
"... Lupa." jawabku singkat.
"Eleuh.. Eleuh... Lagian kunaon pagi-pagi gini sudah kemari? Mamarahan pula." Mang Ucup menatapku penuh selidik.
"Iya, Mang. Maaf." aku jawab lagi dengan jujur
"Sudah enam tahun atuh, Jang. Kenapa nggak kamu samperin aja? Bilang kamu teh, menyesal." Mang Ucup masuk ke ruangan di depan sana. Meletakkan termos air panas dan juga rantang nasi.
"Kadieu maneh teh!" bentak Mang Ucup. Akupun menurutinya.

"Coba lihat, badan kamu udah sagede gorila kitu. Semua orang pasti takut atuh. Mamang aja ngeri ngelihatnya." Mang Ucup bergidig menatap lenganku.

Aku melihat pantulan bayanganku sendiri di cermin belakang Mang Ucup. Di sana ada sesosok manusia super besar, otot-ototnya menonjol dengan devinisi yang mengerikan, dihiasi dengan urat yang menjalar indah di sekujur tubuhnya. Iya, itu aku.
Aku merasa biasa saja, lebih tepatnya aku tidak perduli dengan pandangan orang lain terhadap otot-ototku yang mengerikan ini.

"Si Sima bilang, kamu pulang ke rumah hanya satu bulan sekali. Entong kitu atuh, Jang." Mang Ucup duduk dan membuat kopi lalu menyulut rokok keretek yang dari tadi dipegangnya. Asap rokok itu mengepul dari kedua lubang hidungnya kemudian menerpa wajahnya.

Mang Ucup adalah pria paruh baya yang umurnya 52 Tahun. Dia sering main ke rumah dan berteman akrab dengan Bi Sima. Sampai sini aku bahkan tidak perduli apakah dia ada hubungan khusus atau tidak dengan Bi Sima.

Kenal dengan Mang Ucup sudah sangat lama, sejak aku masih umur lima belas tahun. Aku sudah sering main di bengkel tua ini. Memang di sini, lah, tempat pelarianku. Tempatku melepaskan diri dan bersembunyi dari segala masalah. Iya, Mang Ucup tahu semua cerita perjalanan hidupku. Dia orang yang paling tahu betapa hancurnya aku ketika Abang Haikal meninggal.

"Dulu teh, waktu Si Den Haikal meninggal, kamu nggak separah ini, Jang. Ini lebih parah dari kasus yang dulu. Jujur, Mamang teh khawatir pisan." Mang Ucup sudah berdiri dan menyentuh bahuku, aku hanya menunduk.

Benarkah kali ini aku terlihat lebih hancur?

Sesakit ini, kah, cinta yang kamu berikan kepada Bli, Dek?

Dek, Bli Rindu kamu.

"Sok atuh, kamu balik dulu ke rumah. Mamang yakin kamu pasti dapat solusinya. Percaya sama Mamang."  Mang Ucup memberikan jaket Denim dan kausku.
"Makasih, Mang. Maaf bikin repot." aku melangkah dengan sangat berat, dengan bibir ditekuk, aku menaiki motorku.
"Otot aja gede kamu, mah. Pikirannya masih kecil, masalah hati meuni ribet pisan, euy!" ucap Mang Ucup melepas kepergianku.

Motorku melaju perlahan. Embun putih di depanku seakan membentuk wajah Rinto-ku.
Hahaha... aku memang sudah gila!
Butuh waktu seumur hidup agar aku bisa lepas dari bayang-bayang wajah tampan Rinto.

Motorku melaju melewati sebuah pasar pagi. Wangi khas pasar membuatku teringat saat mengantar Rinto membeli daun pisang pesanan Bi Sima.
Pikiranku melayang. Hatiku penuh tanya,
Lagi apa kamu, Dek?
Sudah makan?
Jangan sampai sakit, yah, Dek?
Bli mohon.

CIIIITTT....!!!!

BRRAAAKK!!!

Motorku ditabrak sebuah mobil pick up. Aku terusungkur ke aspal, ninja hitam gagahku langsung nyelip di bawah mobil pick up itu, aku tepat berada di bawah mobil itu, aku bangkit lalu mengangkat mobil itu ke atas, dan bergerak keluar dari bawah mobil. Iya, aku tidak apa-apa.

Ada empat orang pria keluar dari dalam mobil, sepertinya mereka orang timur.
"BANGSAT! PAKAI MATA KALO BAWA MOTOR! JANGAN PAKAI DENGKUL, ANJING!!!"  salah satu dari mereka sudah memaki.
"Iya, maaf." aku menunduk dan hendak mengambil motorku.
"MAAF KAU BILANG?"

BUGH!!!
Salah satu dari mereka menendang perutku. Tendangannya lemah, aku tidak merasakan apa-apa. Aku langsung mengurungkan niatku untuk mengambil motor.

"KAU HARUS GANTI RUGI!!!"
Salah satu dari mereka mengeluarkan pisau, dan menodongkan pisau itu ke leherku.

BUGH!!!
Lagi, mereka menghantam perutku. Hanya geli yang kurasa. Suasana hatiku sedang tidak baik, aku lagi malas berkelahi akhir-akhir ini.

"Oke, berapa ganti ruginya?" tanyaku. Berapapun yang mereka pinta akan kuberikan, aku hanya ingin cepat pulang. Saat ini hanya ada nama Rinto di pikiranku.

"PERIKSA KANTONGNYA!" tiga orang pria lain merogoh kantongku, tapi malah yang mereka temukan adalah Foto Rinto yang sedang tersenyum. Iya, aku selalu membawa Foto itu kemana-mana.

Mengenaskan sekali nasibmu, Ngurah. Jatuh cinta sampai membawa Foto Rinto kemana-mana.

"Adekku sayang, Yinto? Hahaha...." mereka tertawa melihat tulisan jelekku di belakang Foto Rinto yang tampan itu. Foto itulah satu-satunya Foto Rinto yang kupunya.

"Kembalikan Fotonya! Berapa uang yang kalian minta?" aku meminta kembali satu-satunya harta yang kupunya itu dengan lembut. Memang aku lagi kurang Mood untuk berkelahi hari ini.

"Rupanya dia homo!!! Hahaha... Homo laknat kamu, Ya!?" sabar, mereka lemah, mereka bukan tandinganmu, Ngurah. Ambil saja fotonya, lalu pergi dan semuanya selesai.

SREEK!!!
Seketika Foto Rinto yang tersenyum indah itu robek terbelah dua di depan mataku. Mereka merobeknya tanpa alasan. Lalu Foto itu jatuh ke tanah.

SIALAN!

Kutarik tangan pria yang menodongkan pisau di leherku, kudengar dengan indah tulangnya remuk seketika dalam cengkraman kuatku. Dia menjerit.
Kucekek lehernya, dengan ringan kuangkat dia ke udara, tinju kiriku meremukkan tulang rusuknya. Iya, dia bermuntahkan darah dari hidung serta mulutnya. Kuinjak kakinya lalu kutarik dengan mudah hingga kepala itu terlepas dari badannya. Dia padam hanya dalam waktu sepuluh detik dengan sekujur tubuh bergetar di atas aspal.

"KENAPA KALIAN MENYAKITI RINTO?! APA SALAH DIA KEPADA KALIAN?!"
Kenapa mereka merusak wajah Rinto tanpa alasan?
Sudah terlambat untuk merasa ketakutan, mereka akan menerima akibatnya ketika berani menyakiti adekku, Rinto.

Mereka lari terbirit-birit. Aku mendapatkan satu lagi dari mereka.
"Ampuuunn... Saya minta ampuuun." dia mengiba sekarang? Aku sudah sangat sabar awalnya, sekarang kamu terima akibatnya! Kutahan belakang kepalanya, lalu kutinju wajahnya dengan tangan kananku. Hahaha... Tangan kekar beruratku masuk terbenam di dalam wajah laknatnya. Kemudian kulempar dia tinggi-tinggi dan jatuh ke tanah tanpa nyawa.

Dua orang lagi berlari ke Pos Polisi meminta perlindungan. Salah kawan! Seujung kukupun aku tidak pernah takut dengan Polisi. Dengan langkah santai aku memasuki Pos Polisi, kedua orang tadi berlindung di belakang lima orang Polisi yang sedang bertugas mengatur lalu lintas pagi hari ini.

"Ini ada apa?" tanya Polisi itu menatap tanganku yang berlumuran darah.
"Aku ingin membunuh mereka." jawabku santai.
"Tolong, Pak. Tolong kami." mereka berdua memohon kepada Polisi itu.
"SELANGKAH KAMU MAJU, NYAWAMU IKUT KUCABUT HARI INI!!!" ancamku kepada semua Polisi di sana dengan wajah yang siap menghabisi siapapun.
"Sssssst.. Sssttt.. Orang itu Si FORTE, Si Ngurah Bengis! Bukan level kita. Lebih baik kita keluar." salah satu dari Polisi itu berbisik kepada polisi yang lain.

Mangsaku sudah terpojok ketakutan. Mana jiwa pereman yang mereka miliki tadi? Aku berjongkok dan menatap mata minta ampun di depanku.
Hahaha... Aku sudah muak dengan wajah penuh tipu seperti ini, sekali jahat dia adalah penjahat, dibumi hanguskan saja!

"Iya, saya homo. Homo ini yang akan membunuhmu hari ini!"

Tanganku mencengkram selangkangan mereka berdua secara bersamaan, mereka terangkat tinggi, lalu menjerit kesakitan. Buah zakar mereka pecah di dalam celananya dalam genggaman super kuatku, serasa ditekan oleh mesin hidrolik kurasa. Kupeluk mereka dengan kuat, gemeretak suara tulang hancur dalam pelukanku, mereka menjerit kesakitan.

"Hahahaha..." aku tertawa dan menikmati setiap detik menyiksa mereka. Kaki mereka berdua menendang kesana kemari, nafas mereka sudah mulai habis, paru-parunya hancur tak berbentuk. Kujatuhkan dua mayat itu ke lantai lalu kuinjak kepala mereka hingga hancur.

Kelima Polisi itu menatapku ketakutan.

"Urus semua mayat ini! Jangan sampai ada yang tahu! Kalau kalian masih mau hidup." aku pergi berlalu melewati lima Polisi yang masih terperangah dan takut terhadapku.

"Siap, Pak!" Mereka langsung hormat kepadaku.

Keluar dari Pos Polisi, aku kembali ke tempat motorku yang ringsek. Aku memungut serpihan Foto Rinto yang dirobek oleh empat orang brandalan tadi. Lalu memilih berjalan kaki untuk sampai ke rumah.

*********

MY PRINCE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang