●tiga●

915 131 22
                                    

"Atta, Atta, lo mau nyoba brengsek tapi gak pake otak ya gini akhirnya."

Sambil melirik karibnya itu dengan sorot tak habis pikir, Juna membakar rokok yang terselip dibibirnya. Kemudian menggeser korek api itu kehadapan Attala yang tak menggubris sama sekali.

Kedai kopi itu tidak terlalu ramai siang ini. Karena mereka datang saat kebanyakan orang tengah bekerja. Sementara mereka sendiri curi-curi waktu dari tempat kerja masing-masing.

Tak jarang Attala datang ke rumah paman Juna karena memang sahabatnya itu tinggal disana sekarang. Bukan lagi di sebuah kost yang sempit dan berantakan khas anak rantau itu. Tujuannya menemui Juna hanya satu, melarikan diri dari rumah agar tak berlama-lama bersama Adel.

Dengan sikap egoisnya itu, Attala bukan tidak menyadari bahwa ia sudah menyakiti hati dua wanita sekaligus. Namun rasanya sulit sekali untuk menjalani hari-hari dengan kondisi memaksakan seperti ini. Meski sudah ada anak diantaranya dan sang istri, tapi belum juga mampu membuat Attala bersikap selayaknya seorang kepala rumah tangga yang baik.

"mantan lo yang anak sastra itu gimana sekarang?" tanya Attala ragu.

Juna nampak berpikir sejenak, "Tania?" tanyanya memastikan. Disusul sebuah anggukan cepat oleh lawan bicaranya. "so far, dia enjoy sama suaminya sekarang. Kenapa lo nanya dia tiba-tiba?"

"gak tau. Tiba-tiba keinget aja." jawab Attala tak acuh kemudian menyesap kopi susunya.

Lantas Juna tersenyum miris, "kalo dipikir-pikir kasusnya sama ya gak sih? Cuma bedanya setelah nikah mereka bisa bahagia, nah elo enggak." ucap cowok bersurai kecokelatan itu.

Attala hanya dapat menghela nafas panjang tanpa ingin membalas lagi ucapan sahabatnya itu. Banyak hal yang tak dapat dimengerti oleh orang lain, sehingga membuatnya berpikir lebih baik untuk memendamnya sendiri. Tak ada gunanya juga dibeberkan panjang lebar.

Juna—cowok itu sekarang merasa nyaman karena telah diangkat menjadi karyawan tetap sebuah perusahaan. Namun ia belum juga memiliki kekasih atau bahkan istri karena masih terlalu banyak pertimbangan. Tapi kalau untuk menjadi teman cerita, ia takkan pernah pergi sampai kapanpun. Sebab ia memahami seberapa pelik masalah yang dihadapi temannya itu.

"emang tujuan lo ke Bali itu sebenernya buat apa sih?" tanya Juna lagi. Mengingat bahwa sebelumnya Attala mengatakan pergi ke Bali untuk membuat dirinya merasa terlepas dari beban. Tapi yang terjadi, ia malah semakin tertekan.

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut orang yang duduk tak jauh didekatnya itu. Ia terlihat hanya memijat keningnya pelan.

"udah ketemu kan? Udah ngomong juga apa yang selama ini lo rasain? Terus apa lagi yang bikin mumet sih, kok balik-balik lo malah kacau gini?" tambahnya bertubi-tubi.

Lagi-lagi Attala menghela nafas berat, "gue pikir tadinya juga gitu. Tapi ternyata enggak. Gak tau lah, gue jadi ribet aja ngeliat dia sama suaminya sekarang."

"ribet? Karena lo kalah telak?"

"gak begitu lah, Jun."

"terus?"

Attala berdecak kesal, "lo sendiri kenapa gak dateng waktu dia nikah?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

"lo lupa waktu itu gue miskin? Beli tiket ke Bali kudu ngemis sama om gue. Udah numpang, kerjaan ngeberantakin rumah, minta duit pula. Gatau diri dong gue?" jawabnya panjang lebar, menjelaskan alasan utama ia tidak dapat menghadiri pernikahan Kinan beberapa waktu lalu. "lagian topeng gue udah ilang. Gue gak punya muka banget buat ketemu Kinan."

"maksud lo?"

"waktu dia masih sama lo, dan waktu lo masih di Palembang, pas banget gue lagi kena kasus kayak gini—"

✔ Before We Done;Spin off Attala // NCT TaeyongWhere stories live. Discover now