●tujuh●

712 111 10
                                    

"baik, bagaimana? Apa ada tambahan lagi?"

Attala mengedarkan pandangannya pada beberapa orang yang duduk sejajar pada meja oval dihadapannya itu. Rata-rata mereka hanya menganggukan kepala sebagai arti persetujuan atas usulan dari salah satu rekan yang belum lama ini berbicara itu.

"saya setuju dengan argumen pak Imam tadi. Tapi untuk kesepakatan bersama, boleh dipertimbangkan lagi dengan yang lain, pak. Pak Atta sendiri bagaimana?"

"kita bisa bahas lebih lanjut pada pertemuan berikutnya. Untuk hari ini cukup, saya tutup. Terima kasih dan selamat malam." ucap Attala menutup kegiatan malam itu, kemudian segera keluar dari ruangan.

Tak langsung pulang, Attala kembali ke meja kerjanya lalu menyendiri disana. Terlihat sekali gurat lelah yang terlukis dari pancaran indah kedua bola mata itu. Menciptakan sebuah helaan nafas berat dan panjang bersamaan dengan kepala yang ia tumpu pada kedua tangannya.

Pulang malam disebabkan oleh lembur sudah menjadi kesenangan paling utama bagi Attala. Karena pada alasan yang sama pula, ia jadi lebih jarang di rumah.

Beberapa waktu lalu di rumah sakit, ketika Aini mendadak opname dan juga kondisi Adel yang begitu terpuruk, Attala tidak cukup tega untuk melihat dua anggota keluarga kecilnya itu menjadi demikian. Ia harus bersusah payah menghancurkan bongkahan batu kokoh yang menyelimuti relung hatinya, demi supaya dirinya bisa berbicara layaknya seorang suami sambil menatap mata sang istri tanpa ada yang perlu ditutupi lagi.

Attala penuh kepalsuan. Perhatian yang ia berikan untuk Adel benar-benar hanya agar wanita itu kembali pada kondisi psikis yang baik. Tidak dalam tekanan yang hebat. Nyatanya, semua berjalan sempurna. Adel yang memang membutuhkan semua itu tak bisa untuk menolak. Ia senang bukan main karena belakangan ini Attala mau berbicara lebih manusiawi kepadanya.

Dibawah temaram lampu meja, ditemani keheningan yang pekat, Attala duduk disana. Memegang pena sambil terus menorehkan tinta itu diatas kertas putih polos. Menuangkan segudang rindu terpendam tanpa perlu takut ada yang mencela. Hanya ini cara yang ia bisa untuk membuat dirinya sendiri merasa lebih baik.

Lupakan sejenak urusan pekerjaan, untuk saat ini biarkan ia bercengkrama dengan luka lama.

Berjalan mundur adalah caraku mencintaimu mulai sekarang
Tapi pada kenyataannya semua yang kuucapkan itu terjun bebas kedalam kotak penuh omong kosong
Jujur, aku masih tak bisa
Kinan, terlalu banyak kasih sayang yang kita rajut kala itu
Terlalu banyak kenangan manis dari obrolan singkat kita meski hanya berupa suara tanpa wujud
Jika boleh aku mengingkari janji, bisakah kita yang tak mungkin ini bersama lagi?
Atau setidaknya sekali saja, aku ingin melihatmu lagi


Diletakkannya pena itu diatas kertas yang sekarang penuh dengan curahan hati seorang Attala. Kemudian ia mengusap wajahnya frustasi.

Ruang kantor yang sepi ditambah dengan para pekerjanya yang sudah pulang menambah kesan hampa bagi laki-laki berusia akhir dua puluhan itu. Kedudukannya diperusahan yang menggeluti bidang otomotif itu cukup tinggi. Untuk ukuran pria muda yang memiliki kemampuan diatas rata-rata serta aktif dalam bidangnya itu Attala memang cukup eksis. Namun semua itu tak sedikit pun membuatnya merasa sedikit lebih berharga. Ia merasa dirinya terlalu menyedihkan dan tak pantas meski pada umumnya orang lain tak mungkin tau masalah internal yang sedang ia hadapi sekarang.

Dikeluarkannya sebuah ponsel, kemudian dengan cepat dikontaknya satu nama.

"halo, lo dimana?" tanyanya langsung begitu sambungan tersebut diangkat.

"rumah. Kenapa?" suara Juna terdengar sedikit lebih berat, khas orang yang baru bangun tidur.

"temenin gue minum."

✔ Before We Done;Spin off Attala // NCT TaeyongWhere stories live. Discover now