Chapter 4

36 21 4
                                    

Waktu terasa cepat sekali. Baru saja ku isi perut ketika istirahat dikantin dan sekarang sudah bel pulang.

Semua berhamburan keluar, parkiran penuh dan pemasokan oksigen serasa berkurang. Berdesak-desakan, aku hanya diam dan berandai. Andai aku yang disana pasti akan pengap dan terjepit diantara siswa siswi yang berebut mencari jalan untuk lewat motor maupun mobilnya.

Beruntung, aku hari ini berangkat sekaligus pulang bersama Affan.

Affan membunyikan klaksonnya, memberiku isyarat agar cepat masuk ke mobil. Affan tidak seromantis pria disinetron yang mau membukakan pintu untuk kekasihnya. Sementara Affan hanya membunyikan klakson dan membiarkanku membuka pintu sendiri dan masuk kedalam mobil.

Affan menyalakan radio dan mulai melajukan mobilnya. Entah mengapa mataku serasa ingin melihat ke cermin atap mobil yang menghadap langsung ke tempat duduk di belakang.

Kepalaku sontak langsung kuarahkan keatas dan melihat apa yang ada di belakang. Terbesit banyak pertanyaan di pikiranku. Siapa yang menduduki kursi belakang mobil Affan.

"Biasa aja kali ngeliatin cerminnya. Itu Anto anak kelas sebelas di sekolah kita" ucap Affan seolah mengetahui gerak-gerikku.

Aku mengernyit heran dan mengangkat bahu acuh. Ku fokuskan pandangan kedepan dan melihat jalanan yang sangat padat karena ramai orang yang baru pulang dari aktivitas kerjanya maupun anak pulang dari sekolah.

Affan mengencangkan volume radionya. Terdengar sepenggal lirik dari lagu tersebut 'sanggupkah dia bertahan dan memelukmu, ditengah deras curah sifat egomu' seperti itulah lirik yang kudengar.

Aku menyandarkan kepalaku di kursi mobil dan membenarkan posisiku agar terasa nyaman. Aku terus memandang kedepan menyaksikan keramaian di tengah perasaanku yang entah harus dengan kata apa aku menuliskannya.

Entah aku harus senang karena baru jadian dengan Affan atau malah sedih karena Affan terlalu mencintaiku yang masih menyimpan perasaan terhadap almarhum Revan.

Tapi untuk apa menyimpan perasaan untuk orang yang sudah mati.

"Kak gue Anto, calon adek tirinya Affan" ucap Anto yang mencoba memecah lamunanku.

"Adek tiri? Fan papa lo mau nikah lagi?" Tanyaku heran.

"Ya seperti yang dia bilang aja Rin" sahut Affan.

Rasa bersalahku semakin meradang. Affan sedang mengalami masalah dalam keluarganya, kentara wajahnya yang berubah menjadi sendu sejak keluar dari parkiran. Seseorang yang biasanya over malah menjadi pendiam dan acuh. Ternyata itu jawaban dari sifat Affan yang mendadak berubah.

Akupun tak pernah mengalami masalah keluarga semacam itu. Haruskah ku menenangkan Affan dan menjadi sok bijak atau bahkan sok peduli. Ah apalah artinya seorang pacar jika tak pernah ada ketika pasangannya mengalami masalah. Mau tak mau aku harus peduli dengan Affan.

"Apa lagi yang harus gue lakuin Rin. Papa gue uda lama menduda semenjak hak asuh gue jatuh di tangan papa. 7 tahun lamanya papa gue merawat gue seorang diri dan sekarang gue harus rela berkorban buat papa. Papa mau punya istri lagi" Jelas Affan dan menghela nafasnya pelan.

"Untung calon adek tiri gue cowok, bisa diajak tinju nih" sambung Affan mencoba menyembunyikan kekecewaannya.

"Gue emang gak pernah ada di posisi lo Fan tapi setidaknya gue bisa ada disamping lo" ucapku.

"Makasih pacar" ucap Affan dan sejurus kemudian menampakkan senyum laknatnya yang membuat pipiku menjadi merah muda menahan malu.

Affan hanya terkekeh pelan dan menyetop mobil di depan rumahnya.

Affan membuka pintu dan menggandeng tanganku agar ikut masuk kerumah bersamanya dan Anto. Terlihat dekorasi mewah yang sudah menghiasi halaman rumah. Kursi pelaminanpun telah berada ditempatnya dihiasi dengan bunga-bunga asli yang menonjolkan keindahannya.

Foto prewed juga sudah dibingkai dan diletakkan di sebelah jalan masuk. "Pernikahannya besok Rin, besok dampingin gue jadi saksi" ucap Affan.

Affan meneruskan langkahnya yang sempat terhenti dan mengajakku masuk kedalam rumahnya. Sementara Anto, dia sudah langsung masuk kedalam rumah begitu turun dari mobil Affan.

"Pa, lihat nih Affan sama siapa?" Ucap Affan.

Seorang pria paruh baya muncul dari belakang Affan dan tampak berbahagia raut wajahnya. "Calon menantu papa?" Ucapnya sambil tersenyum ramah.

Pria paruh baya tersebut membisikkan sesuatu ke telinga Affan dan pamit untuk kembali mempersiapkan pernikahannya.

"Kata papa, dia lagi sibuk dan jangan lupa besok dateng kesini lagi" Jelas Affan.

"Masih mau disini apa pulang?" Tanya Affan.

"Pulang ajah" sahutku.

"Fan, nanti pulang beliin cemilan ya" ucap Anto.

"KAKAK AFFAN" ucap Affan dengan menekankan setiap ucapanya.

"Iya kakak Affan nanti beliin Anto cemilan ya" ucap Anto dimanis-maniskan.

Aku tidak mengindahkan ucapan mereka dan segera menarik tangan Affan menjauh dari Anto sebelum adu mulut antara mereka dimulai.

•••

Inginku menanyakan apa yang terjadi di masalalu Affan. Namun sepertinya itu bukan hal yang pantas dilakukan. Karna Affan juga telah menutup rapat-rapat tentang masa kelamnya tersebut.

"Fan gue mau bilang, sebenarnya gue gak ada gaun yang bagus buat ke pernikahan papa lo" ucapku sambil tertunduk merendah.

Affan tidak mengindahkan ucapanku, seakan peka dengan yang aku maksud. Affan masuk kedalam tikungan jalan dan berhenti di sebuah butik. Affan keluar dari mobilnya dan akupun ikut menaiki tangga bersamanya memasuki butik tersebut.

Pegawai butik sepertinya juga telah mengenal Affan. Pegawai tersebut langsung mengantar Affan mencari gaun yang cocok untukku.

"Ini terlalu berlebihan Fan, gue gak perlu yang mahal"

"Ini tidak berlebihan Rin. Masih banyak kok gaun yang mahal, ini termasuk masih murah kok Rin lagian ini sekalian aku ambil jas buat acaranya papa besok" Jelas Affan.

Aku masuk ke ruang ganti dan memakai gaun yang dipilihkan Affan dibantu pegawai butik. Begitupun Affan juga masuk ke ruang ganti dan mengepas jas nya.

Aku keluar dari ruang ganti dan melihat diriku di cermin besar yang disediakan oleh butik tersebut.

"Cocok banget, pas di badannya mbak. Serasi dengan calon tunangan mbak" ucap salah satu pegawai butik.

Aku tak bisa menyembunyikan wajahku yang memerah padam. Bibirku hanya tersenyum simpul. "Sebenarnya kami belum mau tunangan. Ini acara pernikahan orang tuanya Affan" ucapku.

Affan keluar dari ruang ganti. Merapikan ramputnya yang sedikit berantakan.

Aku terkejut melihat Affan memakai jas berwarna hitam, terlihat keren dan gagah. Ditambah dengan jam tangan yang ia kenakan di pergelangan tangannya. Hingga sepersekian menit kami berdua memaku saling terpukau dan menatap satu sama lain tanpa berkedip.

Affan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sepertinya ia gugup. Berkali kali mengusap wajahnya dan merapikan rambutnya yang sebenarnya sudah rapi. Aku berbalik dan kembali menatap diriku di cermin.

"Emm yauda mbak jas ini uda pas kok, sekalian bungkus sama baju yang dipakai calon tunangan saya" ucap Affan sambil tersenyum miring ke arahku.

"FAN" ucapku sedikit menekankan perkataanku.

Affan hanya tertawa pelan dan mengangkat jarinya membentuk huruf V dan kemudian masuk kedalam ruang ganti. Akupun ikut masuk ke ruang ganti dan mengganti gaun dengan seragam yang kupakai sebelumnya.

Jangan lupa ada tombol bintang dibawah ⬇⬇

Salam santuy.

Send(u) ✔Where stories live. Discover now