Chapter 16

36 10 0
                                    

Ujian Try Out hari keduapun telah usai, mendengar perkataan ayah semalam aku menjadi termotivasi untuk memperbaiki hubunganku dengan Dira. Kembali kuberlari menuju ruang ujian Dira dan kupastikan kali ini tidak akan terlambat.

Aku berhenti didepan pintu ruang ujian Dira, kulihat dia sedang merapikan mejanya dan itu artinya sebentar lagi Dira akan keluar. Aku menempel di dinding layaknya cicak, agar tak terlihat oleh Dira dan tak membuat suasana hatinya berubah.

"Dira!" Sapaku pada Dira yang baru saja berada di gawangan pintu.

Dira menoleh sejenak tanpa membalas sapaanku dan mempercepat langkahnya untuk menghindar dariku. Aku hanya pasrah dan mungkin saja saat ini hatinya Dira belum terbuka.

"Rin!" Ucap seorang laki-laki berperawakan tinggi dan mempunyai jambul.

"Iya?" Sahutku.

"Gue punya ide, lo tunggu aja di taman belakang sekolah dan sementara lo ngumpet dulu. Gue akan bawa Dira kesana" ucap Anto.

"Apa lo bisa gue percaya, emang dia mau nurut sama lo?" Tanyaku ragu.

"Seratus persen bisa" ucap Anto sambil mengacungkan jempol tangan kanannya.

Aku berjalan menuju taman belakang sekolah dan terus berdo'a supaya Anto benar-benar berhasil membawa Dira kesana. Sepanjang koridor mulutku tak berhenti untuk terus berdoa. Menurut islam jika marah tidak boleh lebih dari tiga hari, dan aku sangat berharap supaya hubunganku dengan Dira lekas membaik.

Drrrtt drrrttt!

Dira meraba saku roknya karena terasa ada getaran dari ponselnya. Sebuah pesan masuk dari aplikasi whatsapp, namun nomornya tak terdaftar di kontak ponsel Dira.

+6285764××××××
Temuin gue di taman belakang sekolah. PENTING!!
Jika dalam waktu lima menit belum sampai juga, teror menanti buat lo.

"Apasih gak jelas!" Desis Dira dan kembali mengantongi ponselnya.

Dira meneruskan berjalan menuju kantin dan memesan makanan, sengaja melihat jam untuk memastikan apa benar setelah lima menit akan mendapatkan teror. Dira berpikir pasti orang aneh yang hanya ingin mengancamnya. Dira terus menghitung mundur 10 detik sebelum tepat 5 menit si pengirim itu meneror sembari menunggu pesanannya datang.

Akhirnya semangkuk bakso telah datang, dibukanya garpu dan sendok yang dibungkus dengan tissu kering. Bola mata Dira sontak melotot tak percaya, ternyata memang benar akan ada teror. Dalam tissu tersebut ada kecoa yang meskipun cuma mainan anak TK, Dira segera melempar tissunya dan membayar. Kemudian berlari menuju taman belakang sekolah.

Mata Dira mencari keberadaan seseorang yang telah mengirimkan pesan, sejauh mata memandang tetap tak ada siapapun. Dira mendengus kesal dan memutar kakinya 180 derajat.

"Ciluk ba!" Ucap Anto.

Dira hanya memaku setelah meneriaki Anto dengan suara yang melengking. "Ihh ngagetin orang aja" ucap Dira.

"Kaget ya? Sengaja dong gue. Oh iya tadi itu nomer hp gue dan ada yang mau ngomong sama lo" ucap Anto.

"Ra!" Ucapku dari balik tembok.

"Oh elo, mau bilang apa?" Ucap Dira.

"Sebenernya gue gak mau hubungan kita jadi kayak gini, gue juga gak nyalahin lo apalagi mau nuntut lo Ra"

"Sebenernya disini gue yang terluka, gue uda rela memendam perasaan gue demi lo. CUMA DEMI LO RIN" ucap Dira sambil menekankan kalimat terakhirnya.

"Nggak ada yang perlu diributkan, Revan gak tenang karena kalian terus membahas dia dan gak pernah rela dengan kematian dia" ucap Anto mencoba menengahi.

"Berdamai dengan masa lalu lebih baik Ra, Rin. Kalian uda dewasa so gue emang lebih muda dari kalian tapi gue lebih ngerti apa itu pertemanan" sambung Anto.

"Iya Rin, kamu harus ikhlas dan jangan bahas Revan lagi. Lebih baik kita dateng sekarang ke makamnya Revan, kita doain dia biar dia tenang. Kalian ributpun Revan gak akan bangun dari kematiannya" ucap Affan yang baru saja datang.

•••

Mobil Affan terparkir di depan makam tempat dimana Revan diistirahatkan disana, makam nampak bersih dan tenang namun tak bisa lepas dari aura horornya. Untung masih sore, jadi tak ada yang perlu ditakutkan. Pelan-pelan kami semua mulai melangkah berjalan di sela-sela dempetan makam untuk menuju ke kuburan Revan.

Telah ada sebuket bunga yang kubeli dari toko bunga sebelum perjalanan ke makam, dan Affan membawa kantung kresek berisi bunga yang biasanya dijual dipinggir jalan untuk dibawa ke makam. Pelan-pelan kami semua duduk dan membersihkan sedikit rumput liar yang sepertinya baru saja tumbuh kemudian menaburkan bunga.

Menyentuh tanah kuburan Revan sembari berdoa dalam hati untuk Revan, hatiku kembali rapuh dan lemah jika sudah bersangkut paut dengan almarhum Revan. Setetes cairan bening keluar dari pelupuk mataku dan langsung ku usap gusar, aku tersenyum yang bisa diartikan sedikit terpaksa kemudian menyentuh batu nisan yang tertulis nama Revan disana. Menaruh sebuket bunga dan menyandarkannya di batu nisan, sebisa mungkin kutahan senyum paksaku agar tak luntur dari bibir mungilku.

"Ikhlas kan sayang?" Lirih Affan.

Aku hanya mengangguk pelan tanpa kubalas tatapannya.

"Udah jangan sedih lagi, Revan baru aja tenang di alamnya. Ke taman yang baru dibuka di dekat rumah Airin yuk" ucap Anto dalam suasana hening di dalam pemakaman.

Kami semua mengangguk setuju dan meninggalkan pemakaman. Aku menghela nafas kasar dan kutatap wajah Affan yang sedang fokus dengan jalanan, wajahnya yang selalu tersenyum dan laki-laki yang tetap mempertahankan komitmennya untuk bersamaku. Saat di lampu merah, ada sekitar waktu tiga puluh detik yang digunakan Affan untuk menoleh kearahku dan memberikan senyum tulusnya.

Anto berdehem dan memberi isyarat bahwa lampu telah berganti menjadi hijau, Affan menyudahi tatapannya dan kembali fokus menatap jalanan yang cukup ramai kendaraan. Tak butuh waktu lama, Affan memarkirkan mobilnya di parkiran yang memang disediakan di area sebelah taman.

Dira menarik tanganku agar ikut bersamanya dan menggodaku "Udah sama gue aja, sama Affan mulu nempel terus kayak cicak sama tembok. Eh btw itu kan emang hobi lo, suka nempel-nempel di tembok" ucap Dira.

"Gue cicak lo nyamuknya" ucap Anto.

"Enak aja, gue lu makan dong. Mentang-mentang Nando gak ikut aja lo berani sama gue" ucap Dira.

"Udah jangan berantem mulu ntar suka loh" ucapku sambil tertawa meledek.

"Ya kali gue suka sama tukang palak" ucap Dira.

"Kalo gue berhenti jadi tukang palak, lo jadi suka nggak sama gue?" Ucap Anto.

Affan tetap stay cool dan menjadi pendengar setia dari obrolan yang tidak jelas ini. Memasukkan satu tangannya ke saku celana, membuatnya nampak keren dan tampan pasti. Setidaknya perasaanku terasa lega karena bisa kembali baikan dengan Dira sahabat baikku. Dan semuanya berkat Anto, jika bukan karena dia pasti sekarang perang dinginku dengan Dira masih berlanjut.

Jangan lupa vote commentnya ya 😊💕

Salam santuy.

Send(u) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang