Chapter 9

31 9 1
                                    

"Lo apain si Airin sampe lemes gitu?" ucap Dira.

Dira dan Nando baru saja sampai, sebenarnya Affan memang meminta mereka datang untuk weekend bareng. Affan bukan tipe cowok yang romantis, jadi mustahil menurutku jika Affan hanya berdua denganku. Di dalam mobil saja, kami berdua jarang mengobrol.

Affan bukan cowok yang perfect, dia tidak termasuk murid berprestasi tapi ia berbakat dibidang musik. Karena suaranya yang enak didengar membuat guru sering mengikutkannya lomba di bidang musik. Affan bisa bermain gitar dan juga menjadi vokal dalam satu grup band.

Karena itulah Affan sedikit famous dan memiliki fans meskipun tidak banyak.

"Gue ngajak dia naik tangga berjalan" ucap Affan.

"Bego, uda tau dia phobia" ucap Dira.

"Ya mana gue tau Ra, dan pantesan lo sama Airin selalu pakek tangga biasa" ucap Affan.

"Makanya jadi cowok tuh yang peka" ucap Affan.

"Udah, gue gapapa kok yauda mau kemana nih kita?" ucapku.

"Ke tempat makan dulu, biar kamu gak lemes lagi" ucap Dira.

"Tapi..." ucapku menggantung.

Aku mendengus kesal karena Dira menarik tanganku menuju restoran. Memesan beberapa minuman dan kue kecil.

Entah dari mana, Anto tiba-tiba datang menghampiri kami, duduk di sebelah Dira dan menyambar es punya Dira. Dengan santainya Anto menyedot es jus apel dan menghabiskannya hampir separuh.

"Dasar tukang palak, gak sopan banget" ucap Dira kesal.

"Lagi haus" ucap Anto. "Gue punya info penting buat kalian" sambung Anto.

"Apa infonya?" Ucap Affan.

"Kita harus membuka lagi kasus kematian Revan" ucap Anto.

"Ngapain?" Bantah Nando.

"Ini perintah dari dia, dia belum tenang dan masih berkeliaran di alam kita" ucap Anto.

"Ngaco" ketus Dira.

"Dia bener kok. Dia itu anak indigo dan yang penting dia emang sering bicara sendiri" ucap Affan.

"Serius? Tukang palak kayak dia tuh indigo?" ucap Dira terkekeh pelan.

"Sekali lagi lo manggil gue tukang palak, gue cium lo" ucap Anto.

Dengan badanku yang terasa agak lemas, aku termenung dan bayangan tentang Revan kembali terlintas di benakku. Bodoh sekali aku yang terus mengingat tentang Revan padahal sudah memiliki Affan. Senyumnya yang begitu manis, suaranya yang lembut dan perilakunya yang baik.

Tak heran jika Revan di idolakan banyak kaum hawa di sekolah, bibirku terasa melengkung dengan sendirinya.

Brakk!

Anto menggebrakkan meja dan membuatku membuyarkan lamunan. Dengan tawa kecilnya yang meledek, memang sungguh mengesalkan dan menjengkelkan. Entah mengapa Affan bisa mempunyai adik tiri yang tengil seperti Anto.

"Woy lo kesambet?" Ucap Anto.

Aku berdecak kesal "Ck! Enggak"

"Sekarang gimana caranya membuka kembali kasus Affan sementara ibunya aja udah menutup kasus itu?" Ucap Affan.

"Kita cari tau sendiri" ucap Nando.

Semua pandangan beralih ke Nando dan menatapnya serius. Tak terkecuali Anto yang dengan santainya masih menyedot jus apel milik Dira.

"Sabtu depan kan tanggal merah tuh, kita camping hari sabtu minggu" ucap Nando.

"Setuju" ucapku bersemangat.

Send(u) ✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora