Chapter 15

24 8 1
                                    

"Iya ini emang tangan aku" ucap Affan.

"Kok berdarah?"

"Sengaja aku petik pakai tangan aku, tangan aku gak sakit kok lebih sakit pipi kamu waktu aku tampar kemarin" ucapnya sambil tersenyum kecut.

Sontak aku mengambil mawar dari tangan Affan dan mengajaknya duduk lalu kubersihkan darah di tangan Affan menggunakan tissu.

"Kamu gak harus kayak gini buat minta maaf sama aku Fan" ucapku sambil membersihkan lembut tangan Affan.

"Aku cemen karena uda gagal nahan emosi"

"Bunda kamu kemarin bilang, kalo sampai tiga kali tidak bisa diperingatkan dengan ucapan maka biarlah tangan yang berbicara. Itu kan yang kamu lakuin? Aku uda berkali-kali kamu ingatkan biar gak deket-deket sama jurang tapi tetep aku mendekati jurang sampai hampir jatuh"

"Iya itu memang ajaran bunda"

"Jadi aku uda maafin kamu kok Fan"

"Makasih sayang, I Love You"

"I Love You Too"

•••

Semua siswa dan siswi berhamburan keluar kelas setelah dua jam mengerjakan soal Try Out Bahasa Indonesia. Aku segera berlari menuju ruangan Dira, karena kami tidak satu ruangan. Namaku berawal huruf A dan Dira huruf R, jadi tentu saja kami tidak satu ruang ujian.

Ruang ujian Dira hanya berjarak tiga kelas dari ruang ujianku. Terlambat, ruang kelas Dira sudah kosong. Mataku celingak-celinguk mencari keberadaan sosok Dira, akhirnya aku menemukan Dira yang berjalan menuju kantin mungkin akan membeli makanan atau minuman.

"Ra!" Ucapku.

Dira tetap saja tak menghentikan langkahnya, aku berjalan lebih cepat dan menghadang Dira dari depan. Terpaksa, Dira menghentikan langkahnya dan menatapku penuh kekesalan.

"Akhiri sikap dingin ini Ra, kita bersahabat" ucapku penuh harap.

Tanpa sepatah katapun, Dira kembali melangkahkan kaki dan menyenggol bahu kiriku sambil berkata "minggir!". Aku hanya bisa menghela nafas kasar dan membiarkan Dira pergi. Sungguh, Dira membuatku merasa bersalah atas sikap dinginnya.

Aku berjalan menunduk ke arah ruang kelasku untuk mengambil tas yang tadi sempat aku tinggalkan di kelas. Terus menunduk hingga aku menabrak dada bidang milik seseorang. Aku mendongak ke atas untuk mencari tahu siapa yang aku tabrak. "Nando!" Ucapku.

"Yang sabar ya, Dira pasti bakal ngerti kok tapi sabar harus pelan-pelan" ucapnya mencoba meyakinkanku.

Aku mengangguk pelan dan kembali meneruskan perjalananku. Seperti biasa, aku langsung menunggu Affan di depan parkiran sekolah.

Menaiki mobil Affan dan pulang ke rumah. Aku menyandar pada kursi mobil dan menatap lurus jalanan yang cukup ramai namun tidak ada tanda-tanda kemacetan. Aku menyilangkan tanganku di depan pinggang dan menampakkan wajah yang murung.

"Yang" ucap Affan.

"Apa?" Ucapku ketus.

"Kamu PMS ya? Galak amat"

Aku tidak mengindahkan perkataan Affan dan memilih diam saja sampai akhirnya aku sampai di rumah.

Sementara Nando sedang duduk di kantin menemani saudara kembarnya. Menyantap semangkuk bakso di temani satu gelas es teh. Dimakannya telak tanpa tersisa, hanya tinggal mangkok dan gelas.

"Dek, kenapa sih lo ngehindar dari Airin?" Ucap Nando.

Uhuk! sontak Dira tersedak dan segera meminum es teh.

"Apa urusannya Airin sama lo?" Ketus Dira.

"Hey lo lupa, kita uda bersahabat hampir dua tahun dan lo masih nanya apa urusan Airin sama gue?"

"Terus?" ucap Dira yang masih saja ketus.

Wushh! Selembar kertas yang telah diremas-remas mendarat di atas mangkuk bakso Dira. "Yes!" Ucap Anto karena aksinya berhasil sambil mengepalkan tangan dan dinaik turunkan dengan ekspresi kegirangan.

Dira menoleh kearah kertas itu berasal dan melihat sosok Anto yang sedang mengalihkan pandangan, menatap langit-langit dan bersiul cukup keras. Lengan seragamnya digulung dan rambutnya dibuat berjambul serta dasinya yang acak-acakan dan bajunya yang dikeluarkan sebelah.

Bukan seorang badboy namun satu-satunya tukang palak di sekolah. Menjadi kaya tak bisa menghentikan hobinya menjadi tukang palak. Menjadi bagian dari keluarga Affan, tentu saja keuangan Anto juga akan tercukupi tanpa harus malak. Tapi itu dibantahnya karena menjadi tukang palak akan disegani daripada menjadi anak yang rajin.

Mugkin itu sebuah filosofi dari Anto bahwa tukang palak selalu disegani dan ditakuti meskipun tak dikagumi oleh kaum hawa. Karena kebanyakan para badboy lebih disukai oleh kaum hawa terlebih lagi badboy tersebut adalah anak orang kaya.

Badboy lebih dikagumi oleh kaum hawa dari pada goodboy yang tentu mempunyai sikap dingin dan acuh. Sementara tukang palak mungkin tak jauh dari level para preman, namun preman junior atau masih masa belajar menjadi seorang preman.

"Eh tukang palak bisa gak sih lo jangan gangguin gue dulu?" ucap Dira kesal.

"Udah gue bilang gak bisa karena gue udah JATUH CINTA SAMA LO" ucap Anto dengan menekankan 4 kata terakhirnya.

"Cieee" tiba-tiba seisi kantin bersorak seolah setuju jika Anto menyukai Dira.

Dira berdiri dari tempat duduknya dan menghentakkan kakinya kesal menjauh dari kantin terutama dari Anto. Nando berjalan menghampiri Anto dan mengajaknya menjauh dari kantin ke koridor yang cukup sepi.

"Lo beneran suka sama Dira?" Ucap Nando.

"Enggak lah siapa juga yang mau suka sama cewek jutek dan labil kayak dia" bantah Anto.

"Ck!" Nando berdecak kesal dan kemudian meninggalkan Anto untuk mencari keberadaan Dira.

~•~•~

Hari berganti menjadi malam, aku sedang duduk di sudut kafe. Kafe kecil milik ayahku yang baru dibuka setahun yang lalu, waktu itu ayah di PHK dan tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Dengan modal yang terbatas, ayah mencoba membuka usaha kafe meskipun saat itu harus menyewa tempat. Seiring berjalannya waktu, pelanggan di kafe mulai bertambah hingga ayah sanggup membeli tempat yang sebelumnya disewa untuk membuka kafe.

Malam ini hujan turun dan kafe sedang sepi hanya ada beberapa pelanggan saja. Ayah duduk di kursi sebelahku dan bertanya apa yang terjadi sehingga aku nampak murung.

"Kamu kenapa Rin?" Ucap ayah.

"Ayah tau Dira kan yang sahabatku itu, Airin lagi ada masalah sama dia"

"Masalah apa Rin?"

"Jadi Dira itu ternyata dulu suka sama Revan dan dia juga penyebab kematian Revan meskipun dia gak sengaja sih. Sebenarnya aku mau maafin dia yah tapi dia yang pelan-pelan musuhin aku dah menghindar dari aku"

"Kalo emang kamu uda usaha, kamu minta semuanya sama Tuhan biar dibukakan hati Dira buat kamu dan persahabatan kalian balik lagi"

"Oh gitu ya yah?"

"Emm pak permisi" ucap seorang pelanggan yang memanggil ayah mungkin akan memesan sesuatu.

Aku mengangguk mengerti dan membiarkan ayah memenuhi panggilan dari salah satu pelanggannya. Aku menyeruput capucino yang masih hangat dan tersenyum ke arah ayah yang telah sedikit membantu menenangkan hatiku.

Jangan lupa vote comment 😊💕

Salam santuy.

Send(u) ✔Where stories live. Discover now