Satu

172 23 4
                                    

Hari sedang melaju pelan menuju pelataran senja. Sepeda motor matic berwarna putih yang ditumpangi dua murid sekolah menengah atas itu berhenti di tepi jalan, tepat di depan gerbang pagar sebuah rumah berwarna biru langit yang cukup besar. Seorang gadis yang duduk di jok belakang turun sembari melepas helmnya, parasnya tidak terlalu cantik, tetapi senyumannya begitu meneduhkan siapa pun yang melihatnya.

Sore itu, dia pulang diantar seorang lelaki yang terlihat semakin tampan dengan mengenakan jaket olahraga berlogo centang. Keduanya seumuran, hanya saja wajah gadis itu terlihat lebih dewasa.

"Aku boleh mampir dulu enggak, Deb?" tanya lelaki yang memakai jaket kepada gadis yang ternyata bernama Debby itu.

"Hm. Lain kali saja ya, Bri. Aku pengen istirahat, capek banget soalnya hari ini." Sang gadis menolak permintaan pacarnya itu dengan lembut.

Tampak raut kekecewaan di wajah lelaki itu--Brian, tetapi sebisa mungkin dia menutupinya dengan tersenyum, "Ya sudah, enggak apa-apa. Kamu istirahat saja, aku pulang ya."

"Iya. Hati-hati, terima kasih ya, Bri." Debby mengusap bahu Brian.

"Besok jemput, jangan?" tanya Brian seketika menoleh.

"Enggak usah, Bri. Langsung ke sekolah saja," jawab Debby sambil tersenyum.

Lalu Brian melajukan motornya membelah jalanan sore yang lengang.
Lantas keduanya berpisah di bawah langit jingga, saling menenggelamkan diri jauh ke dasar samudera senja, mencoba menenangkan hati dan pikiran mereka selepas menjalani hari yang begitu melelahkan.

***

Akhir-akhir ini, Brian merasa sikap pacarnya itu agak berubah. Komunikasi yang tercipta lebih sering terasa hambar alias biasa-biasa saja. Entah karena hal apa, dia sendiri tidak tahu jawabannya. Hanya saja memang benar, yang terasa sudah tidak sama seperti dulu masa-masa awal berpacaran.

Brian merasa sekarang pacarnya pun jadi lebih tertutup dan tidak pernah bercerita lagi tentang kesibukannya. Berbeda dengan saat dulu awal-awal pacaran, tanpa diminta pun Debby selalu bercerita banyak hal kepadanya.

Yang paling mengganggu pikirannya adalah kejadian saat tadi mereka mampir ke tempat makan setelah capek keliling-keliling di toko buku.

Atas saran Debby, mereka memilih tempat duduk di meja yang dekat colokan listriknya.

"Biar sekalian bisa ngecharge ponsel," ujar gadis itu.

Sembari menunggu makanan yang dipesan, Debby bilang mau ke toilet dulu. Dan pada saat itulah ponselnya yang sedang dicharge berdering karena ada yang menelepon. Brian yang menyadari hal itu hanya membiarkannya saja. Dia tidak berani mengecek ponselnya Debby, meskipun merasa begitu penasaran.

Namun karena ponsel pacarnya itu terus berdering, rasa penasaran Brian pun semakin memuncak. Kemudian dia memutuskan untuk mengeceknya. Tetapi baru saja hendak melihat ponsel tersebut, Debby sudah kembali dari toilet.

"Ada apa, Bri?" tanya Debby.

"Itu, ponsel kamu. Dari tadi bunyi terus, ada yang nelepon beberapa kali. Siapa sih?" Brian sangat penasaran.

Debby pun mengecek dan pada raut wajahnya muncul sedikit keraguan.

"Oh, ini teman," jawab Debby sembari membuang muka dan menaruh ponsel itu di sampingnya.

"Siapa?"

"Teman, Bri."

"Iya, maksudku temanmu itu siapa? Kan temanmu itu banyak," tanya Brian lagi.

Namun sebelum Debby menjawab pertanyaan itu, makanan yang mereka pesan pun sudah tiba. "Makan dulu, yuk!" ujar Debby.

Brian pun menuruti apa yang dikatakan pacarnya itu. Dengan hati yang masih bertanya-tanya, dia mencoba menikmati makanannya. Sembari sesekali melirik ke arah ponsel Debby yang tak henti-hentinya berbunyi menerima pesan masuk.

***

Hai ... semoga suka, ya!
Dukung aku untuk terus memperbarui cerita ini dengan cara follow akunku, lalu vote dan juga berikan komentar kalian.
O, iya. Jangan lupa bahagia.
Sun jauh, mwah. 🤗

DISPERSI HATIWhere stories live. Discover now