Lima

58 11 2
                                    

"Ada apa?" Kiran bertanya sambil berjalan mendekat, kemudian duduk di samping Brian yang sedang asyik menonton televisi.

Brian menoleh dan memandang kakaknya itu. Sedikit ekspresi bingung muncul di wajahnya. "Ada apa, apa?"

"Tadi katanya kamu mau ngomong sesuatu, kenapa?"

Brian mencoba mengingat sesuatu.

"Oh, iya, iya. Jadi gini Kak ...." Brian menghentikan ucapannya. "Boleh enggak kalo aku bantuin Hera?" lanjutnya.

"Hera? Emang dia kenapa?" Kiran membenarkan posisi duduknya. Dia berusaha menyimak dengan baik penjelasan adik kesayangannya itu.

"Tadi di sekolah, aku ketemu Hera. Matanya sembab, lalu aku tanya 'kenapa?', dia jawab abis dipanggil bendahara sekolah. Katanya karena dia belum bayar uang SPP dua bulan terakhir. Begitu. Jadi aku mau minjemin uang tabunganku, gimana? Boleh enggak, Kak?" Brian degdegan menunggu jawaban kakaknya. Dia berharap kakaknya setuju dengan idenya itu.

Kiran tampak sedang berpikir. Brian tahu, kakaknya pun berhak melarang niatnya tersebut. Toh, selama ini uang yang dia punya pun berasal dari penghasilan kakaknya itu. Suasana sedikit hening. Brian semakin takut kalo Kiran tidak memberi izin.

"Kak?" Brian memanggil kakaknya yang sepertinya masih mempertimbangkan maksudnya. Kiran menoleh.

"Beberapa hari kemarin, ibunya Hera enggak jualan. Jadi uang yang harusnya dipakai Hera buat bayar biaya SPP, terpaksa dipakai untuk kebutuhan sehari-hari mereka, juga buat modal jualan ibunya lagi." Brian menceritakan detailnya. Berharap kakaknya luluh dan merasa kasihan kepada Hera.

"Emang, totalnya berapa?" tanya Kiran singkat.

"Dua bulan itu sebesar empat ratus lima puluh ribu," jawab Brian.

"Kamu punya uang sebanyak itu?"

"Punya. Itu tabunganku, tadinya buat beli sepatu futsal. Soalnya, sekitar tiga minggu lagi Brian ada turnamen. Boleh ya, Kak?"

Kiran menghela napas. "Pakai tabunganmu itu? Enggak. Enggak boleh," larangnya tegas.

Brian sudah menduganya. Kakaknya tidak bakal setuju dengan idenya itu. Tapi karena sudah telanjur menjanjikan kepada Hera, dia menolak untuk menyerah. Bahkan kalaupun Kiran tetap tidak mengizinkan, dia mau nekat saja meminjamkan tabungannya diam-diam.

"Kakak emang enggak kasihan sama Hera? Enggak mau bantu dia emang?" tanya Brian memelas.

"Kasihan, kok." Kiran menjawab enteng.

"Lalu kenapa enggak setuju sama ideku tadi?" Wajah Brian terlihat panik.

"Hahaha. Kakak enggak setuju sama ide kamu, bukan berarti kakak enggak mau bantu Hera." Kiran tampak puas menertawakan kepanikan Brian.

"Maksudnya?" Brian kebingungan.

"Gini. Kalo kamu mau bantu Hera, silakan. Tetapi, jangan pakai tabunganmu itu. Pakai uang kakak aja." Kiran tersenyum.

"Hah? Beneran, Kak?"

Kiran mengangguk. "Bentar. Kakak ambil dulu uangnya."

Brian menatap Kiran yang berjalan menuju kamarnya. Tak dipungkiri Brian merasa sangat bahagia karena hal ini. Dia bersyukur memiliki seorang kakak yang begitu baik kepadanya.

"Terima kasih Ma, Pa. Kak Kiran baik sekali sama Brian," batinnya.

***

Brian sampai di kelasnya, kali ini dia langsung menyimpan tas dan berjalan cepat keluar. Hera, satu-satunya orang yang ingin dia temui sepagi ini. Dia ingin membayar janjinya yang kemarin kepada gadis itu.

DISPERSI HATIWhere stories live. Discover now