Empat

84 12 6
                                    

Brian berjalan di belakang Ikbal, tangannya erat memegang sebuah map berwarna biru. Mereka berdua hendak menuju ruang guru untuk bertemu Pak Arham--pembina ekskul futsal, untuk menyerahkan daftar siswa yang ikut turnamen futsal nanti.

Sepanjang koridor yang mereka lalui, banyak siswa-siswi yang berkumpul di depan kelasnya masing-masing. Maklum, sekarang sedang jam istirahat. Lalu Brian mempercepat langkahnya dan menyejajarkan dengan Ikbal.

Saat sampai di belokan koridor, Brian berpapasan dengan Hera. Dia menyapa gadis itu, dan mereka menepi sebentar karena merasa ada yang tidak biasa dengan Hera. Ikbal yang menyadari Brian tak ada bersamanya pun celingukan mencari.

"Bri? Ayo!" Ikbal berteriak kemudian.

Brian pun menoleh, "Duluan aja. Tunggu di depan ruang guru, ntar langsung ke sana."

Setelah Ikbal memberi isyarat jempol tangan, Brian kembali fokus pada gadis di sampingnya itu. "Kamu kenapa, Ra?"

Hera menggeleng. "Aku enggak apa-apa, kok."

"Jangan bohong. Wajahmu keliatan sedih, ada apa? abis dari mana?" Brian memberondong beberapa pertanyaan. Hera menundukkan kepalanya.

"Ra?" panggil Brian. "Kalo butuh apa-apa, kalo ada apa-apa, cerita sama aku. Kali aja aku bisa bantu," lanjutnya.

Gadis itu tampak bergeming. Mereka berdua tidak peduli dengan banyaknya siswa-siswi lain yang berlalu lalang di dekat mereka.

"Kamu abis dari ruang tata usaha?" terka Brian kemudian.

Sembari masih menunduk, orang yang Brian ajak bicara mengangguk.

"Ada masalah apa? Cerita sama aku, yuk!"

Perlahan, Hera mendongakkan kepalanya. Kini terlihat dengan jelas pipinya yang basah disiram air mata. "Tadi abis dipanggil Bu Gina, bendahara sekolah," jawabnya dengan suara parau.

"Perihal uang SPP?"
"Iya."

"Berapa bulan yang belum bayar?"

"Dua bulan. Harusnya sih aku bisa bayar, cuma uangnya kepake buat modal ibu jualan. Kemarin-kemarin soalnya ibu enggak jualan, jadi kebutuhan makan pun pake uang tabunganku."

"Ya udah, bayar pake uangku dulu aja. Tapi besok ya," tawar Brian.

"Enggak usah, Bri. Aku enggak mau ngerepotin kamu." Hera mencoba menolak dengan halus tawaran Brian.

"Ra ... aku enggak ngerasa direpotin, kok. Please, kali ini jangan nolak niat baik aku, ya. Kamu sama ibu udah baik banget sama aku dan Kak Kiran. Kali ini biarin aku bantu kamu, selagi masih bisa."

Hera terdiam. Sepertinya enggak ada cara lain buat bisa bayar SPP bulanannya.

"Ya udah kalo maksa, tapi nanti ingetin aku, biar secepatnya bisa kuganti uangmu."

"Siap. Gampang kalo soal itu. Udah, jangan nangis. Coba senyum," goda Brian.

Hera pun terlihat sedikit tersenyum meski malu-malu.

"Ibu nanyain." Tiba-tiba Hera berujar.

"Ah! Pasti nyuruh main, ya? Ya udah nanti pulang sekolah bareng ya, sekalian mau ketemu ibu." Brian sedikit merasa sungkan, karena kemarin tidak jadi ke rumah Hera.

"Ingkar janji lagi enggak, nih?"

"Kuusahakan, enggak. Hehehe ... ya udah, kamu ke kelas gih! Aku mau ke ruang guru dulu," kata Brian, disambut anggukan kepala Hera.

Selepas itu mereka berdua kembali berpisah menuju tujuannya masing-masing. Air mata Hera sudah kering sejak tadi. Sesak yang menikam jantungnya pun perlahan melonggar. Dia merasa jauh lebih baik setelah bercerita perihal masalahnya tadi kepada Brian. Ah, lelaki itu memang istimewa untuk Hera.

Mungkin saja jika Hera tidak ingat kalau Brian adalah pacarnya Debby, tentu dia akan mengutarakan perasaannya secara langsung kepada lelaki itu. Anggap saja sebagai cara menebus kesalahannya di masa lalu yang terlalu pengecut sampai akhirnya Brian menjadi milik sahabatnya sendiri.

***

Bel pulang sudah lewat sejak sepuluh menit yang lalu. Brian tampak sedang menunggu Hera di depan kelasnya. Namun seketika tatapannya tertuju kepada seorang gadis yang berada di depan ruang OSIS. Debby!

Tiba-tiba Brian ingat ada yang belum selesai di antara dia dan pacarnya itu. Lantas berlari melewati beberapa siswa-siswa lain yang berjalan di hadapannya. Sesaat kemudian dia sampai di depan ruang OSIS.

"Deb?" Brian menyapa gadis yang sedang fokus dengan ponselnya itu.

Debby menoleh, tatapannya datar. Kemudian matanya fokus kembali kepada ponselnya tersebut.

"Kamu kemana aja, Deb? Dua hari ini kamu enggak ada kabar," tanya Brian pelan.

Dengan acuh tak acuh, Debby menjawab. "Aku ada, kok. Cuma kebetulan emang lagi sibuk persiapan buat olimpiade."

"Sesibuk apa? Sampai pesan-pesanku tak kamu baca sama sekali."

Gadis itu mendongakkan kepalanya dan menatap Brian.

"Aku sibuk les, belajar, dan bimbingan. Aku enggak sempat megang ponsel, Bri."

"Kamu enggak lagi bohong sama aku, 'kan?"

"Enggak ada gunanya aku bohong sama kamu." Debby tampak merasa terintimidasi.

"Lalu ...,"

"Bri?" Tiba-tiba saja Hera muncul di antara mereka berdua. Brian dan Debby pun menoleh bersamaan. "Aku balik duluan, ya. Ke rumahnya lain kali saja," lanjut Hera.

"Beneran, Ra?" Brian merasa tidak enak hati karenanya.

"Iya, enggak apa-apa kok." Hera tersenyum kepada Brian. Kemudian dia menyapa Debby, "Duluan ya, Deb."

Debby menatap kepergian Hera dengan ekspresi dingin.

"Sudah selesai?" tanya Debby tiba-tiba saja.

"Apanya, Deb?"

"Urusan kita. Sudah selesai? Aku mau les,"

"Aku belum selesai ngomong."

"Tapi aku mau berangkat les," tegas Debby.

"Ya udah, kuantar, ya."

"Enggak usah. Aku sama Bima, dia udah nunggu di parkiran."

"Tapi pacar kamu itu aku, Deb. Bukan Bima!"

"Ya terus apa hubungannya? Kamu pergi aja sana ke rumahnya si Hera." Debby menggertak sekaligus melangkah pergi, namun Brian lebih cepat menarik tangan Debby.

"Kamu itu kenapa sih, Deb? Sikapmu jadi aneh tau, gak?"

"Kamu yang kenapa?" Debby malah balik bertanya. "Harusnya kamu mikir kenapa aku kayak gini," lanjutnya.

Brian dan Debby sama-sama tidak peduli meskipun dilihat oleh siswa-siswi lainnya. Dan tentu saja mereka pun tidak peduli dengan apa yang terjadi di antara kedua orang tersebut.

"Deb, jujur sama aku. Kalo emang kamu sibuk dan enggak sempat megang ponsel, lalu semalam pas jam sepuluh, kamu sedang teleponan sama siapa, hah?" Nada bicara Brian sedikit agak tinggi. Emosinya mulai tersulut.

Debby menatap tajam Brian. "Itu-bukan-urusanmu!"

Kemudian Debby mengibaskan cengkeraman tangan Brian dengan kasar. Dia lalu berjalan menuju parkiran meninggalkan seorang lelaki yang mematung menatapnya nanar.

Jauh di lubuk hatinya, sesungguhnya gadis itu merasa kasihan kepada Brian. Namun saat ini yang dia rasakan tak bisa dijelaskan dengan mudah.

Dihadapkan pada pilihan antara Brian dan Bima, Debby mencintai keduanya. Dia belum bisa memilih siapa yang harus diperjuangkan dan siapa yang harus dilepaskan. Hanya saja, masa-masa yang sekarang dilalui bersama Bima jauh terasa lebih indah daripada bersama Brian.

Terlebih sejak Debby sering mendapati Brian sering bersama Hera, akhirnya segala tentang Brian kini tampak biasa-biasa saja di matanya.

***

Halooo~
Greget, ya? Wkwk.
Jadi menurutmu sebenarnya yang salah ini tuh Si Debby atau si Brian, sih? Dilarang menilai pake "teori cowok selalu salah" ya! 😂
Jangan lupa vote dan komen, ya. 🤗

DISPERSI HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang