Dua

128 17 17
                                    

"Ra, kamu liat Debby?" Brian bertanya tanpa basa-basi kepada seorang gadis yang sedang menyantap menu makan istirahatnya. Kemudian dia duduk di sebelah gadis itu.

"Ada di ruang OSIS, tadi sih lagi sama Resti. Biasalah, urusan ketua sama sekretaris." Hera mengangkat kedua bahu sambil menatap Brian. Kemudian dia menyedot es teh manis di depannya.

"Emangnya, OSIS lagi sibuk apa sih sekarang?" Wajah Brian menunjukkan rasa penasaran. Hera menghentikan aktivitasnya sejenak, ia memperhatikan Brian. "Akhir-akhir ini, Debby bilang kalo dia lagi sibuk di OSIS. Dia jadi cuek sama aku," lanjut Brian.

"Udahlah, Bri. Kamu maklumi saja. Debby 'kan ketos, pasti kesibukannya banyak. Ya, walaupun aku sendiri enggak tahu sih dia lagi sibuk apa. Tapi terakhir aku dengar, OSIS diminta buat ngajuin proposal olimpiade. Ah, iya! Aku ingat. Debby juga kepilih mewakili sekolah di bidang Fisika buat olimpiade nanti." Hera menjelaskan panjang lebar. Brian hanya mengangguk saja sejak tadi.

"Padahal, bulan depan ada turnamen futsal. Pada saat aku butuh dukungan dari Debby, eh, dia malah sibuk sendiri sama kegiatannya." Tampak jelas raut sedih tergambar pada wajah Brian.

"Udah kamu bicarain baik-baik ke Debby?" Hera memelankan suaranya.

"Belum."

"Hm. Kamu bicarain dulu baik-baik ke dia, jangan sampe kamu ngerasa capek sendiri. Ya sebagai teman, aku enggak bisa bantu banyak Bri." Ada sedikit penekanan pada kata ‘teman’ yang diucapkan Hera barusan. Tapi lelaki itu tidak menyadarinya.

"Oke. Enggak apa-apa, Ra. Thanks, ya. Sekarang udah cukup tenang, kemarin-kemarin aku bingung mau cerita sama siapa. Untung ada kamu.”

Hera tersenyum mendengar pujian dari Brian.

"Terus sekarang aku mesti ngapain, Ra?"

"Hm, bentar-bentar. Sekarang, kamu bawain siomay ke ruang OSIS, kayaknya Debby belum makan deh. Sekalian bayarin juga punyaku, ya. Hehehe,” kata Hera sambil nyengir kuda.

"Sialan, bisa aja triknya." Brian menyedot es teh manis milik Hera, kemudian bangkit menuju warung penjual siomay.

Hera hanya menatap punggung Brian saat lelaki itu tengah berdiri di depan warung siomay. Ada rasa penyesalan yang menyelinap masuk ke dalam lubuk hatinya, seandainya dulu aku enggak munafik sama perasaanku sendiri. Enggak mungkin sekarang aku harus pura-pura bahagia ngeliat kamu bahagia sama dia, Bri.

Hera merenung. Meratapi sebuah penyesalan yang sulit untuk dilupakan. Betapa pada akhirnya itu adalah sebuah kesalahan yang kerap membayangi hari-harinya. Ya, semua tentang Brian, lelaki yang tidak pernah selalu tampak biasa saja di matanya. Lelaki yang selalu tampak istimewa dengan apa yang ada pada dirinya. Lelaki yang tidak pernah tahu isi hatinya.

***

Tok, tok, tok!

Hera mengetuk pintu ruang OSIS, kemudian dia sendiri yang membukanya. Brian masih berdiri di belakang Hera, sebungkus siomay di tangan kirinya digenggam kuat. ‘Hadiah’ yang dia bawa buat Debby.
Kemudian Hera menengok ke arah Brian.

"Kamu tunggu di sini, aku mau masuk. Manggil Debby," kata Hera kepada Brian.

"Jangan kelamaan!"

Hera pun masuk ke dalam, sementara Brian menunggu di depan ruang OSIS. Beberapa siswa sudah kembali ke kelas masing-masing karena jam istirahat sudah hampir selesai. Brian melirik jam yang melingkar di tangan kirinya. Abis ini pelajaran Pak Arham, enggak apa-apa deh terlambat sebentar.

"Bri?"

Brian pun menoleh ke arah suara tersebut. Dia tersenyum saat tahu kalau yang memanggilnya adalah Debby.

DISPERSI HATIOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz