Tiga

70 11 4
                                    

Pagi memberi banyak pertanyaan dalam diri Brian. Tentu saja ini soal Debby yang tak memberi kabar sejak kemarin. Apa pun yang terjadi, rasa cemas jauh lebih mendominasi pikirannya saat ini. Tetapi, dia enggan berpikir macam-macam tentang gadis itu.

Tadi malam dia harus rela tidur lebih larut, berharap Debby memberinya sedikit kabar. Setidaknya itu mampu menepiskan kekhawatirannya. Meskipun kenyataannya tidak ada satu pun pesan dari pacarnya itu bertandang ke ponselnya.

Lelaki itu bergegas menyusuri koridor. Kakinya melangkah tegap penuh keyakinan. Kelasnya Debby, kelasnya Debby. Itu yang sedari tadi dia tanamkan dalam hatinya. Dia harus segera menuju ke sana. Menemui pacarnya.

Namun sebelum sampai di sana, dari kejauhan dia melihat Debby tengah berdua bersama Bima. Ketika melihat hal itu, ada sesak yang menyeruak ke segala penjuru kesadarannya. Ingin sekali Brian menghampiri mereka berdua, lantas meninju wajah lelaki yang sedang bersama pacarnya itu sekuat tenaganya. Namun, tentu saja niat tersebut dia urungkan.

Barangkali mereka sedang membahas olimpiade itu, pikirnya.

Brian tidak mau salah langkah dalam menghadapi situasi seperti ini. Situasi yang paling dia takutkan ketika pertama memutuskan untuk menerima ungkapan cinta dari Debby waktu itu. Brian sadar, mencintai Debby akan terasa tidak mudah. Pacarnya itu cukup populer di sekolah, tentu saja banyak siswa lain yang mengaguminya. Untuk itu Brian memilih berhati-hati dalam mengambil keputusan, tak ingin jika akhirnya wanita yang dia sayangi itu jatuh ke pelukan lelaki lain.

Tapi apa pun alasannya, hatinya tak mampu berbohong. Dia cemburu dan sakit hati melihat Debby yang tengah bersama Bima. Kemudian tanpa pikir panjang Brian membelokkan langkahnya, dia berjalan di tepi lapangan membaur bersama beberapa siswa lain.

Kenapa aku harus pengecut seperti ini?

***

“Nanti pas istirahat kamu ada kumpulan OSIS, enggak?

Kirim!

Brian menghela napas berat setelah mengirim pesan tersebut kepada Hera. Iya, Hera. Satu-satunya orang yang dia rasa bisa membantu mencairkan segala kegundahan jiwanya. Matanya kini menatap lekat ke layar ponsel yang digenggamnya. Jari tangannya mengetuk-ngetuk pelan permukaan meja. Raut cemas di wajahnya berubah antusias sekali saat balasan pesan dari Hera tiba.

“Engga ada. Kenapa, Bri?”

Brian segera membalas pesan tersebut.

“Mau siomay gratis? Kalem, ditraktir. Nanti istirahat aku tunggu di warung biasa, ya.”

Singkat. Brian tidak ingin basa-basi. Hatinya sedang tidak ingin membahas masalah tentang ini sekarang.

“Wah, dalam rangka apa nih? Okelah. Jangan ingkar janji ya!”

Entah apa yang dipikirkan Hera, yang pasti Brian tidak ingin memikirkannya sekarang. Dia mencoba membiarkan gadis itu menerka-nerka sendiri. Pesan terakhir dari Hera tak dibalasnya, ponsel yang sedari tadi di tangan dia masukkan ke sakunya.

***

Suasana kantin sangat ramai, seperti tempat wisata yang dipadati pengunjung di hari libur. Untungnya Brian dan Hera sudah mendapat tempat duduk, dan beberapa menit yang lalu pun dua piring siomay sudah mendarat di depan mereka. Ditambah dua gelas es jeruk yang tampak sangat menyegarkan jika masuk membasahi tenggorokan.

“Jadi, traktiran kali ini sebenarnya dalam rangka apa Bri?” Hera membuka obrolan terlebih dahulu.

“Enggak dalam rangka apa-apa, sih. Cuma mau cerita aja,” jawab Brian dengan serius.

DISPERSI HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang