Enam

72 13 6
                                    

Kini mereka sudah sampai di depan ruang OSIS. Resti menghentikan langkahnya. Dia memandang ke arah pintu ruang OSIS yang sedikit terbuka. Tatapannya serius. Kepalanya tidak berhenti menduga.

Tumben pintu ruang OSIS enggak nutup sempurna, apa ada orangnya ya?

Ataukah ada pencuri masuk?

Hera juga merasakan keanehan yang sama dengan Resti. Keduanya saling menatap, lalu melangkah mendekat dan membuka pintu itu pelan-pelan.

Hera terenyak melihat apa yang sedang terjadi di dalam. Resti pun sama, bahkan dia sepertinya terlihat marah. Mereka dengan jelas melihat Bima mendekatkan wajahnya ke arah wajah Debby yang hanya terdiam saja. Ya, di mata Hera dan Resti, Bima terlihat akan mencium Debby yang bersandar di dinding ruangan.

"HEY, KALIAN!" teriak Resti.

Debby dan Bima terhentak mendengar teriakan itu. Dengan panik dan terburu-buru mereka berdua langsung membenarkan posisi, mencoba membuat situasi menjadi tidak seperti apa yang Hera dan Resti lihat. Wajah Debby tampak ketakutan, terlebih dia menyadari keberadaan Hera yang tampak mematung di sana. Sementara Bima pun tidak jauh berbeda.

Tanpa diduga, Resti melangkah mendekat ke arah Bima. Hera yang sedari tadi berdiri di sampingnya hanya memperhatikan saja. Hera bukan tipe orang yang suka dengan keributan. Namun melihat ekspresi temannya yang marah seperti itu tentu bukan hal biasa saja, emosinya juga bergejolak. Terlebih salah satu pelakunya adalah Debby, perempuan yang begitu amat dicintai oleh lelaki yang tak bisa dia miliki, Brian.

PLAK!

Keras terdengar bunyi tamparan. Bima tertunduk setelah ayunan telapak tangan Resti mendarat manis di pipinya. Dia tampak kesakitan dan mengusap-usap wajahnya.

"Dasar lelaki berengsek! Jadi ini alasanmu enggak mau publish hubungan kita, hah? Biar kamu bisa bebas deketin perempuan lain, gitu? Enggak nyangka aku sama kamu, Bim. Aku yang sepenuhnya percaya sama kamu, ternyata kamu malah hancurin kepercayaan aku dengan begini caranya? Berengsek kamu, Bim!" Resti setengah berteriak, dia tidak kuat menahan amarahnya. Di sela-sela itu, air mata jatuh membasahi pipinya.

"Udah puas, hah?" tanya Bima kemudian. "Asal kamu tahu ya, Res. Aku enggak pernah sedikit pun ada rasa ke kamu. Aku cuma kasihan sama kamu yang terus-terus ngejar aku. Di mataku, bagiku, kamu cuma perempuan biasa." Emosi Bima benar-benar terpancing. Sampai akhirnya dia mengatakan hal yang sebenarnya, dan tentu saja hal itu sangat menyakiti hati Resti.

Setelah sempat menutup pintu rapat-rapat, Hera yang mendengar perkataan Bima langsung melangkah menghampiri Resti. Dia tahu sebentar lagi emosi sahabatnya itu akan meledak. Bahkan jika dia menjadi Resti, mungkin dia akan memukul lelaki itu tanpa henti.

"Ayo, Bim! Bilang semua sama aku, katakan sejujurnya. Katakan semua kebohonganmu sekarang! Biar perempuan berengsek ini juga tahu betapa lebih berengseknya dirimu!" Resti terus memaki Bima. Sembari sesekali dia menunjuk ke arah Debby yang hanya terdiam.

Mendengar makian Resti yang menyebut Debby dengan 'Perempuan berengsek' tentu saja membuat Bima semakin marah, reflek gerakan tangannya mengambil ancang-ancang untuk menampar Resti. Namun Resti malah sengaja menyodorkan wajahnya, seolah menantang Bima. Hera yang menyadari hal itu langsung menarik tubuh Resti ke belakang.

Dan sebelum Bima benar-benar menampar Resti, dengan cepat Debby merangkul Bima. "Bim! Jangan, Bim! Nanti urusannya makin ribet. Mending kita keluar," ajak Debby kepada Bima.

Bima pun menuruti ajakan Debby, dia tampak menurunkan tangannya. Meskipun pada sepasang mata Bima masih tampak ada suatu kemarahan yang belum mampu diungkapkan. Mereka berdua pun melangkah keluar.

DISPERSI HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang