HeeB - Hidup

83.3K 2.2K 90
                                    

Halo aku Hee

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Halo aku Hee. Lahir dan tinggal dari keluarga beranda. Ayahku seorang pemimpin di firma hukum terkenal dan ibuku hanyalah sosialita.

Aku anak tunggal yang memiliki banyak peraturan. Pertama, harus menjaga senyum seperti pangeran yang cerah.

Kedua, impian orang tua di atas impian diriku sendiri. Ketiga, harus menjadi anak yang memiliki banyak keahlian.

Terlalu banyak untuk disebutkan, aku akan menyingkatnya untuk kalian semua. Keluargaku menginginkan sebuah kata 'sempurna' ada dalam diriku.

Terkabulkan memang, teman-teman ku melihat diriku seperti berlian. Namun, tidak dengan Ayah dan Ibuku.

"90?? Rata-rata 90???" Ayah memukulkan buku rapot bertekstur keras ke kepalaku hingga aku mendengar dentuman membisingkan yang panjang.

"Tapi aku masih berada di peringkat satu..."

"Heeseung-ah peringkat satu tapi nilai tidak sempurna itu sama saja bohong," giliran ibuku yang mengoceh.

Mengelus rambutku berharap akan menjejalkan otak ku banyak motivasi untuk giat belajar.

"Lihat saja jika ujian berikutnya rata-rata belum 100, Ayah akan memindahkan mu ke sekolah yang lebih banyak saingan dan menambah jadwal les mu."

Setelah pria yang menghidupi ku itu membanting rapot dan menginjaknya saat lewat, ibuku menyusul dengan setia. Meninggalkan diriku yang kini memungut rapot hasil dari jerih payah ku sendiri.

Mulai malam itu aku terus berkutat bersama tulisan-tulisan memuakkan, dipaksakan untuk terus berada di otakku yang bahkan setelah semua penuh oleh pikiran lain tentang bunuh diri dan cara hidup yang bahagia.

Karena bersyukur saja tidak membuatku merasakan bagaimana rasa bahagia itu.

"Aku ingin ke kedai memakan tteokbokki, siapa yang mau ikut?" Teman wanitaku berteriak antusias. Sunghoon yang menjadi teman ku juga menyetujuinya.

Namun, aku benci ketika mereka mulai melihat diriku untuk meminta pendapat.

"Maaf," aku juga tidak menyukai jawaban membosankan yang terus keluar dari mulutku ini.

"Belajar lagi ya?" Sunghoon bertanya dan aku menganggukkinya. "Ujian masih enam bulan lagi, kamu tidak perlu terlalu keras."

Teman wanitaku menyetujuinya dan mulai memberiku beberapa ocehan juga. "Kau akan tetap menjadi yang pertama Heeseung!! Tidak perlu khawatir murid di sini semua bodoh."

Bodoh ya? Artinya perkataan ibuku benar. Tentang peringkat satu tidak berguna jika nilainya masih belum sempurna.

Aku menangkap maksud ibuku di sini. Jika saja aku ditempatkan ke sekolah yang lebih banyak saingan. Nilai dengan rata-rata 90 pasti akan mendapatkan posisi ke lima atau mungkin tidak masuk kedalam 10 besar.

Aku berada di peringkat satu karena sainganku bodoh. Artinya aku memang tidak begitu pintar.

Usai hari itu aku lebih menggiatkan diri untuk belajar. Hingga aku mulai mudah merasa cemas. Bahkan emosiku menjadi tidak stabil.

Aku mulai menyukai kopi kaleng untuk mencegah kantuk ku yang datang saat pelajaran dilangsungkan. Tanpa tahu jika kebanyakan kafein sangat berpengaruh pada kesehatan.

Itu terasa ketika aku tiba-tiba jatuh pingsan. Aku dilarikan ke rumah sakit dan mendapat informasi jika diriku mengalami tekanan darah tinggi.

Itu tidak terlalu serius, aku akan mengurangi marah-marah agar turun. Dugaku sebelum tahu jika penyebab tekanan darah meninggi karena kafein.

"Heeseung maaf aku tidak mengetahui nomor orang tua mu dan ponsel mu dikunci jadi aku tidak menghubungi mereka," aku melihat kedua teman ku di sana saat sadar dari pingsan.

Aku mengerti, lagipula lebih baik jika masalah ini disembunyikan saja dari kedua orang tua ku. "Tidak perlu memberitahu mereka. Aku akan langsung pulang setelah mendapat resep obat."

"Heeseung..," Sunghoon tiba-tiba berbicara dengan tatapan teduh. "Kedepannya mau belajar bersama di kedai?"

"Tidak!" Itu bukan aku yang menyangkal, melainkan teman wanitaku. "Aku tidak mau terlibat dalam obralan membosankan."

"Siapa yang bilang aku mengajak dirimu?"

Sebelum mereka bertengkar lebih panjang, aku menyahuti. "Kenapa kamu tiba-tiba ingin belajar bersama?"

"Entahlah aku hanya ingin memastikan jika dirimu baik-baik saja," aku tidak menjawab usai Sunghoon terlihat peka dengan masalah yang aku hadapi. "Lagipula belajar bersama akan lebih menyenangkan daripada harus berada di meja belajar seharian?"

Meskipun diriku pun ingin, namun banyak hal yang tidak bisa diungkapkan. Bukan tidak bisa karena takut dikasihani, tetapi aku sungguh tidak bisa merangkai kata untuk menjelaskan semuanya. Raut kecewa terlihat jelas pada wajah Sunghoon usai kepeduliannya aku tolak.

tbc...

Heebreath | HeeseungWhere stories live. Discover now