HeeB : Tell Me How to Be A Happy Person

34.1K 1.6K 206
                                    

Saat mencari tahu Kazuha di sosial medianya. Aku melihat sebuah poster perlombaan lewat di beranda. Perlombaan karya seni pada kota New York yang diadakan satu minggu sebelum LCC dimulai. Dihadiri lima tokoh besar yang berpengaruh pada dunia seni sebagai jurinya.

Satu karya seni yang berhasil memukau para lima seniman tersebut mendapatkan sebuah sertifikat pengakuan dan karyanya akan dipajang pada gallery di pusat kota New York. 

Persaingannya pasti akan sangat ketat dan kesempatan bagi pemula seperti diriku hanya nol persen. Sadarkan diriku sekarang! Aku sungguh menekan link pendaftaran! 

Jangan terlalu bodoh Heeseung! Aku bahkan tidak ada ide untuk karya seni apa yang akan dibuat. Sebut saja diri ini terlalu nekat dan bodoh.

Nasi  sudah menjadi bubur, nama ku telah terdaftar bersama ribuan peserta lain. Kini aku dialihkan pada halaman yang mengharuskan diriku memposting portofolio karya seni yang akan diriku ikut sertakan pada ajang tersebut.

Seakan terhempas begitu saja oleh segulung ombak, pikiran ku perihal kekhawatiran mengenai ajang karya seni itu teralihkan pada sebuah postingan lain. Dilihat dari wajah dan nama penggunanya, itu  adalah guru les melukis ku. 

Itu bukan unggahan baru, melainkan unggahan lama yang membuka jalan bagi diriku. Postingannya berisi jika dia pernah memenangkan ajang seni di kota Seoul dan karya nya secara singkat dipamerkan pada gallery Bangkok saat WHO mengadakan event untuk hari difabel.

Kini aku tahu kemana harus melangkah.

"Heeseung!"

Lamunan ku buyar saat kertas-kertas yang Kazuha bawa berceceran seketika sesaat setelah dia tiba di sampingku. Aku membantunya memungut benda ringan tersebut dan melihat jika itu adalah nilai ulangannya di minggu ini.

Semua yang aku pungut tidak ada kertas dengan angka di atas 50, semua nilai Kazuha berada di bawah angka tersebut.

"Ah memalukan sekali kamu tahu semua nilaiku," ucap Kazuha saat diriku menyerahkan semua kertasnya.

Aku berjalan menaiki tribun saat sadar jika matahari sangat menyengat siang ini. Aku menghabiskan sekitar 10 menit duduk di tribun lapangan sendirian, hanya untuk melamun dan menggulir beranda instagram.

Kazuha menyamakan langkahnya dengan ku. "Pasti menyenangkan ya punya otak cerdas?"

"Dari segi mana bisa menyenangkan?" Ucap ku meraih lembaran kertas pertama di dekapan Kazuha. Tinta merah menandai angka 39 pada pojok kanan lembaran. Ini adalah hasil ulangan Matematikanya.

"Matematika ilmu yang mematikan," Kazuha mendengus.

Langkah kami kini berakhir di perpustakaan. Aku meraih beberapa lembar hvs pada administrasi dan mulai duduk di pojok ruangan.

Tanpa diminta aku mengajari dasar-dasar aljabar pada gadis itu. Karena sebelum memulai matematika yang lebih rumit, aljabar adalah basic yang harus terlebih dahulu dikuasai.

Merasa kagum dengan dirinya yang tetap mendengarkan tanpa kantuk sekalipun. Membuat diriku seperti orang penting bagi Kazuha.

Posisi duduknya dekat dan lengan kami saling bersentuhan karena kepala Kazuha condong mendekat kearah tulisan ku. Diluar kesadaran diriku berhenti menulis, membuat gadis cantik ini menolehkan kepalanya.

Wajahnya berjarak beberapa senti dan aku dapat melihat jelas raut muka bingung darinya, mempertanyakan kenapa berhenti mengajarnya.

Aku melirik bibirnya yang kini sedang berbicara, telingaku bahkan tidak berfungsi dengan jelas. Otak ku mulai menyuruhku untuk mencium benda kenyal tersebut. Namun, Kazuha menyadarkan diriku terlebih dahulu.

Ia memukul lenganku. "Hei! Kau dengar tidak?!"

"Maaf," diriku berhasil tersentak dan wajahku sebagian memerah.

"Dilihat dari dekat kau sangat tampan, bukankah itu tidak adil jika dirimu pintar dan baik? Terlebih lagi mendapatkan bidadari seperti ku?" Senyumnya menggoda. "Aku sepertinya jatuh cinta."

Secara total diriku tidak bisa mengendalikan detak jantung yang kian berpacu. Gadis ini terlalu terbuka dan jujur. Aku tidak kuat dengan isi hatinya yang terus ia ungkapkan.

"Kau hanya perlu mempelajari ini untuk ulangan mu selanjutnya," aku berusaha mengalihkan topik.

"Tidak, aku hanya perlu kamu," ocehannya tanpa melepas pandangannya terhadapku. "Maukah kamu menikah denganku?"

Kekehan akhirnya berhasil aku keluarkan. Senyum ku terus merekah sambil diselingi tawa kecil agar kesan diriku yang sedang salah tingkah tidak terlihat secara jelas.

"Kenapa kau tertawa? Apa aku tidak seperti sedang serius?"

Telapak tangan ku memegang pipi Kazuha yang sangat lembut. "Apakah kamu sungguh memikirkan hal itu?"

Dia mengangguk dan jemarinya mulai menyentuh punggung tangan ku. "Bagaimana ini aku tergila-gila padamu."

Senyum ku lebih mengembang karena tuturan tersebut.

"Perlukah aku berbicara dengan ayahmu?" Tanya ku hanya untuk lelucon. Dia tertawa sebelum akhirnya memberi jarak diantara kita.

"Aku tidak bisa membayangkan jika ayahku akan marah dan berkata cinta tidak bisa membeli gula dan beras."

Dia tertawa lumayan keras, aku hendak ikut menyuarakan kegelian ini. Namun, semuanya seperti berubah menjadi abu-abu.

Tidak, jangan! Nanti aku akan menangis.

tbc...

Heebreath | HeeseungWhere stories live. Discover now