[19]

144 25 16
                                    

Pagi menyingsing ketika ketukan pintu di kamar kos terdengar semakin keras. Ayana membuka selimut lalu menilik jam di ponselnya. Sial, Ayana lupa ada kuliah pagi dan ia sudah hampir terlambat.

"Iya." Ayana bergegas membuka pintu, Nindy berdiri di sana.

"Udah cepet sana mandi, kamu udah telat ini!" Nindy memandangi Ayana kesal lalu berubah jadi penasaran ketika melihat kelusuhan kawannya itu. "Kenapa? Kamu sakit?"

"Enggak kok, kamu duluan aja ke kampusnya. Ntar aku nyusul."

Nindy mengangguk lantas berlalu dan Ayana masuk lagi ke kamar. Kepalanya pening, matanya sembab. Entah, Ayana tidak bisa tidur semalaman. Semenjak bertemu Arga malam lalu, kalimat demi kalimat yang pemuda itu lontarkan masih terngiang di ingatan Ayana. Perasaannya membuat Ayana ingin melonjak-lonjak lalu terbang ke langit paling tinggi. Perasaan yang berbalas adalah hal yang paling ia idam-idamkan selama ini.

Namun, yang mengganggu malam Ayana dan mengacau tidurnya adalah perjodohan. Iya, perjodohan gadis itu dengan Fajar akan bagaimana? Hal yang paling Ayana takutkan adalah ia yang tidak bisa menaruh perasaan lebih pada Fajar dari sekedar rasa kagum saja. Satu hal lagi, Ayana jatuh hati pada orang lain. Hal-hal yang selama ini Ayana pikirkan benar terjadi sekarang. Fajar terlalu baik untuk Ayana dan Ayana terlalu takut jika menyakitinya, tapi perasaan memang tak bisa di paksakan, Ayana jatuh cinta pada Arga.

Perkataan Fajar semalam melalui telepon yang begitu lembut menyentuh lubuk Ayana, ia semakin takut menyakitinya.

Dreet dreet ...

Ponsel Ayana berdering semakin sering dari tadi. Terlihat beberapa panggilan tak terjawab masuk, nama Arga mendominasi di situ, di bawahnya ada nama Fajar juga. Ayana harus menghubungi ulang yang mana dulu kalau seperti ini?

Sebuah nama mendadak memanggil lagi.

"Iya, waalaikumsallam." Ayana terduduk di pinggir ranjang tidur. "Ada apa Ummi?"

Panggilan telepon dari Ummi Zul, ibu Fajar, pagi-pagi begini memang tidak biasanya. Bahkan, ayah dan bunda saja jarang menelepon Ayana.

"Nduk, gimana kabarmu? Baik-baik saja kan?"

"Alhamdulilah Ummi, Ayana baik." Terlihat penampakan wajah Ayana di cermin, terlihat lusuh dan kacau dengan pikirannya sendiri. "Ummi bagaimana?"

"Baik Nduk, alhamdulilah."

"Ada apa Ummi pagi-pagi begini menelepon Ayana?"

"Ndak, Ummi hanya rindu dengan calon menantunya Ummi."

Mendengar itu batin Ayana ngilu, ia harus segera memberitahu segalanya dan merapikan hati dua keluarga.

"Ah Ummi, Ayana, kan baru di sini dua bulan kok Ummi sudah rindu?" Ayana sejujurnya sangat rindu dengan Ummi Zul, dia sudah seperti ibu kedua baginya. "Akhi Fajar apa tidak rindu Ummi?"

"Nduk-nduk, ya jelas rindu melebihi segalanya," kata Ummi Zul dengan sedikit terkekeh pelan. "Ummi itu sudah nggak sabar kamu menikah sama Fajar, tapi ya selesaikan dulu pendidikan kalian, ya."

Perkataan Ummi Zul sekali lagi membuat ngilu batin Ayana. Tentang perasaan yang bisa berubah dengan keadaan, siapa yang tahu tentang akhir ceritanya? Ayana sungguh menyayangi Ummi Zul dan tak ingin menyakiti Fajar, tapi Ayana sangat mencintai Arga.

"Nduk, jaga hati, ya." Ummi Zul berkata lirih di telinga Ayana. "Kalian adalah harapan Ummi, kalian anak-anak Ummi."

"Iya Ummi, insyaallah." Ayana menggigit ujung bibir bawah bibirnya ketika mendengar perkataan Ummi yang bagai tahu keadaan hatinya.

Diantara Doa Aku Mencintaimu [End]Onde histórias criam vida. Descubra agora