Fish Cake_3

644 70 2
                                    


ENJOY




Pulang bersama Seokjin, meskipun hanya sampai di halte depan sekolah, cukup membuatku sejenak melupakan hal yang membuatku cukup tertekan. Bukan bermaksud menampik, tapi ucapan Mino terlalu jujur dan lugas untuk membuka lukaku yang terpendam. Karena memang kondisi keluargaku demikian, aku tidak mampu melawan dan hanya bisa menyembunyikan semua emosi yang dulu sempat melukai. Untuk itu aku memendamnya sampai saat ini. Akan tetapi, tampaknya luka itu belum sembuh dan selalu membuatku tertekan setiap terbuka kembali.

Aku tidak mengerti, setiap aku melihat luka itu rasanya seperti tidak akan sembuh sama sekali. Semua upaya menghibur diri hanya akan membuat luka itu membusuk dan semakin tidak bisa kumengerti. Jika luka ini tampak, sungguh aku akan semakin buruk rupa. Apakah tidak ada cara lagi untuk menyembuhkannya? Aku hanya ingin hidup bahagia seperti mereka.

Aku tidak ingin menjadi kaya. Aku juga tidak ingin popular. Aku ingin biasa saja. Aku ingin cukup saja. Aku—sudah tidak terlalu memikirkan apakah aku menginginkan kehadiran ayah dan ibuku lagi atau tidak. Hukum sudah mengatakan mereka bersalah.

Aku tidak sekalipun bermimpi masuk ke sekolah ini kecuali karena beasiswa yang mereka tawarkan. Beasiswa itu cukup untuk membuatku lulus tanpa memikirkan biaya administrasi lagi, termasuk tunjangan-tunjangan lain yang bisa kugunakan untuk membayar hal-hal lain berkaitan dengan kegiatan akademikku. Terkadang, aku juga bisa menyisakannya untuk biaya makan sehari-hari. Aku tidak masalah jika sisa uang itu tidak mencukupi untuk biaya sewa bulanan kami. Aku masih bisa bekerja sambilan. Menjadi kuli, maupun guru les sekolah dasar, aku bisa melakukan banyak hal untuk memenuhi kebutuhanku sendiri. Aku hanya tidak mengerti, apa yang harus kulakukan untuk menghentikan kakakku setiap malam pergi untuk menjual diri.

"Namjoon?"

Apakah aku harus kaya untuk menghentikannya merusak diri? Lihatlah senyum sayu yang muncul dari pintu kamarku. Ia terlalu cantik untuk selelah itu di siang hari. Aku tidak perlu penasaran lagi mengapa ia tidak pernah mengenakan pakaian lengan pendek di rumah ini. Ia terlalu malu untuk menunjukkan sisa-sisa kerja kerasnya di depanku, adik kandungnya yang tidak tahu diri.

"Kau sudah pulang?" tanyanya. Kuangguki.

Kakak memasuki kamarku dan merapikan seragam yang kugantung sembarangan di belakang pintu. Ia berbicara mengenai rencana makan malam kami. Kurasa ia akan membuat menu yang sama sebelum pergi nanti. Aku hanya mengiyakan saja, tidak ingin membebaninya lagi.

"Kak, hari ini aku pingsan lagi."

Kulihat tangan-tangannya berhenti bekerja sebelum ia berbalik menghadapku dengan ekspresi terkejutnya. Aku tersenyum seperti biasa. Tapi, aku tidak ingin mengatakan aku baik-baik saja.

"Apa yang terjadi?"

Pertanyaannya seperti bisa menebak orang-orang seperti Mino yang memojokkanku seperti tadi. Aku sering mengalaminya, dan kuyakin kakakku juga tidak akan lupa. Aku hanya mampu menggeleng ketika ia bertanya apakah kepalaku masih sakit setelahnya.

"Kak," ucapku, dan kakakku berjongkok di hadapanku tanpa memaksakan ekspresinya lagi. Ia yang cemas selalu menunjukkan wajahnya yang asli. Aku tahu, karena kakakku tidak pintar menyembunyikan emosi jika itu berkaitan denganku—anggota keluarga yang ia punya satu-satunya saat ini.

Point of View -NAMJIN-Where stories live. Discover now