Fish Cake_4

345 24 0
                                    



Sambil setel musik biar seru!


ENJOY


Fish Cake




            Sore itu aku kembali ke kelas dengan terburu-buru. Aku tidak memedulikan apapun, hanya berjalan lurus ke kelasku. Aku sedikit menyesal karena seingatku, Seokjin sepertinya sempat memanggilku. Mungkin ada sesuatu yang ingin dia katakan? Aku tidak tahu. Aku terlanjur sampai ke kelas, berbohong soal izin ke UKS pada guru, lalu mengikuti pelajaran sampai jam terakhir. Hoseok dan Jackson sempat ingin bertanya padaku, tapi kukatakan melalui secarik kertas pada mereka untuk menahan diri dulu.

Besok kukasih tahu, begitu isi pesanku. Oleh karena itu, pagi-pagi sekali mereka datang ke rumahku. Mereka menanyakan hal itu.

"Apa yang terjadi? Kenapa sampai terlambat?" Tanya Jackson.

"Kamu ke UKS? Terus kenapa pulangnya buru-buru?" Hoseok menyahut.

Mereka berbicara saling sahut, membuatku sedikit khawatir kalau kakakku yang baru pulang terganggu. Terpaksa aku berdesis, dan mereka berhenti bicara setelah itu. Lalu kukatakan pada mereka soal pertemuan dengan Guru Kang hari itu.

"Wow! Serius? OMG, buddy! Selamat!" Jackson tiba-tiba berseru dengan gaya khasnya. Aku kembali mendesis, memintanya untuk tetap kondusif. Di sebelahnya, Hoseok menyahut dengan suara yang lebih tenang. Namun demikian, senyumnya yang secerah matahari tak luput ia sunggingkan.

"Tapi, kenapa kamu tampak murung begitu?"

Aku tidak lantas menjawab pertanyaan Hoseok padaku. Aku tidak tahu bagaimana ekspresinya, mungkin saling berpandangan dengan Jackson, atau mungkin seketika teringat sesuatu. Aku hanya menghela napas, dan menarik salah satu sudut bibirku. "Ini akan menyusahkanku," jawabku.

Tali-tali sepatuku sudah membentuk simpul. Hoseok dan Jackson masih berdiri, tidak lagi bertanya padaku. Sepertinya mereka memahami jawabanku.

Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi setelah hari itu. Bagaimana jika Guru Kang menyerah menyembunyikanku dari daftar murid berprestasi? Bagaimana jika seluruh sekolah mengetahui namaku? Untuk itu kukatakan, ini akan menyusahkanku.

Lingkungan sekolah tidak jauh berbeda dari lapangan pacuan kuda. Siapapun bisa menunjukkan keagungan kuda mereka jika mereka mau. Ketika perlombaan dimulai, setiap orang akan menaruh matanya pada pacuan. Mau tidak mau, setiap peserta akan menjadi pusat perhatian. Mau menang maupun kalah, bagiku yang lebih suka menjauh dari keramaian sesungguhnya merasa tidak nyaman. Entah, mungkin karena sejarah keluargaku? Aku cukup sadar diri untuk memilih menjadi bagian dari bayangan.

"Namjoon!"

Namun demikian, aku tidak pernah mengerti maksud laju angin. Terkadang ia begitu sejuk, namun juga dingin. Terkadang ia banyak, namun juga membuat sesak. Seseorang yang memanggilku tampak mengangkat tangannya tinggi. Jackson dan Hoseok sudah berdeham di belakangku sejak tadi.

Itu Seokjin, idolaku. Apabila nasibku lebih baik dari ini, sapaan itu adalah mimpi. Dengan suka hati akan kuterima setiap hari. Akan tetapi, tidak untuk saat ini. Aku hanya mampu tersenyum sopan dan mengangguk canggung pada Seokjin. Sial, dia justru berjalan ke mari.

Point of View -NAMJIN-Where stories live. Discover now