Malaikat tak hanya ada di Surga part 10

63 33 2
                                    


Setelah sampai di rumah sakit, gue lansung menuju ke ruangan dimana papi berada. Disana sudah ada sepupu cewek gue yang dari kecil dirawat papi sampai sekarang, dan sudah gue anggap sebagai adek kandung sendiri. Andhini nama lengkapnya, tapi biasa kami panggil Dhini.

"Ehh, mbak Vina..." sapa Dhini terkejut dengan kedatangan gue yang tiba-tiba, dan memang sengaja diam-diam, karena gak mau merepotkan Dhini.

"Holla Dhinn... Mbak kangen sama loe." sapa gue juga sambil merentangkan kedua tangan, lalu Dhini lansung lari memeluk gue sambil bilang, "Kemana aja sih? Jahat gak kasih kabar juga kalau mau kesini."

Gue elus kepala Dhini sambil jelasin, "Maaf ya Dhin, mbak sibuk nyari ginjal yang cocok buat papi, dan sekarang sudah dapat.. Jadi mbak baru sempat kesini."

"Iya mbak, gak apa-apa kok." jawab Dhini sambil menarik tangan gue ke arah sofa, dan kami pun duduk. Lalu gue bertanya soal perkembangan papi, dan Dhini pun menjelaskan panjang kali lebar.

Gak terasa sudah sejam kami ngobrol. Pintu kamar tiba-tiba terbuka dan ternyata dokter beserta perawat datang untuk kontrol keadaan papi.

Gue pun lansung menyapa dokter dan bertanya. Lalu dokter menjelaskan situasinya sedetail mungkin, yang kesimpulannya awal bulan besok baru bisa di mulai operasinya.

Gue lega mendengarnya dan hampir menangis bahagia, tapi tertahan karena malu kalau sampai nangis di lihat banyak orang yang gak di kenal sih. Setelah selesai check semuanya, dokter berpamitan kepada gue dan Dhini.

"Dhin, loe sudah makan belum?" tanya gue sambil berjalan menghampirinya setelah mengantar dokter keluar kamar.
"Belum mbak, gimana?" jawab Dhini.
"Iya sudah, yuk kita makan dulu di luar." ajak gue sambil menelpon sopir untuk datang kesini dan gantiin jagain papi sebentar.

Sambil menunggu sopir datang, gue pun bercermin sambil merapikan baju dan Dhini sibuk masukin barang-barang berharganya ke tas. Berselang waktu 7 menit, pak sopir pun datang.

"Yuk Dhin..." ajak gue, lalu temui pak sopir dan minta kunci mobilnya.
"Ayolah Dhin, gue tinggal lho kalau lama-lama." tegas gue sambil ngeluyur keluar ruangan.
"Iya mbak.. Tungguin lho.. Emm, oh ya pak.. Titip papi bentar ya." jawabnya sekaligus berpesan kepada pak sopir.

Lalu Dhini berlari keluar menyusul dan lansung menggandeng lengan gue sambil senyum-senyum sendiri.

"Loe mau makan apa Dhin?" tanya gue.
"Seafood mbak..." jawabnya sambil meringis minta persetujuan.
"Oke deh..." jawab gue menyetujuinya.

Sampai mobil, lansung gue tancap gas menuju resto seafood kesukaan Dhini. Karena dari kecil dia suka seafood terutama di resto tersebut.

Di perjalanan masih saja cerewet itu Dhini. Entah ngomong soal cowok, inilah itulah. Ternyata gak ada yang berubah sama sekali dari adek gue yang imut ini. Yang berubah cuma fisik dan wajahnya, jadi lebih menjadi dewasa seperti posturnya Maria Ozawa, iya gue pikir mirip sekali sih. Hehehe.

Dan yang membedakannya dari Maria Ozawa itu adalah tatto di tubuh Dhini banyak sekali. Mirip seperti gue yang suka seni tatto di tubuh. Walau tatto yang dimiliki Dhini gak banyak seperti milik gue, tapi untuk cewek seusia dia 20 tahun itu sudah membuat "Sangar" setiap orang yang melihatnya.

Dulu kami tumbuh di 2 negara yang berbeda. Tapi kalau soal kekompakkan, keakraban sebagai saudara sangatlah baik. Di Jepang, dia dari kecil selalu video call sama gue sebelum tidur. Sampai sekarang pun juga, tapi karena kemarin kami fokus sama tugas masing-masing buat kesembuhan papi, kami pun jarang komunikasi kecuali urgent.

Nah, itu cerita singkat kami selama ini. Akhirnya sampai juga di resto, Dhini pun lansung gak sabaran, lalu lansung buka pintu mobil dan ngeluyur begitu saja masuk ke resto ninggalin gue.

Setelah memarkirkan mobil, gue bergegas menyusul Dhini. Dan benar dugaan gue, dia tadi masuk duluan karena mau pesan banyak menu. Soalnya kalau bareng sama gue, pasti banyak aturan dan gak bisa pilih macam-macam.

Tapi gak masalah sih, saat ini biar dia jadi ratu dulu dan makan sepuasnya, karena tanpa dia pun, gue gak bakal bisa bergerak bebas kesana sini untuk usahakan yang terbaik.

Setelah selesai memilih menu, Dhini pun menoleh kebelakang sambil senyum meringis, dan gue pun pura-pura ngambek, berdiri terus di belakangnya. Akhirnya Dhini mengeluarkan jurus rayuan manjanya. Dia meraih tangan gue, sambil menarik-narik manja, dan yang buat gue gak bisa terusan akting itu kalau lihat wajahnya yang imut cemberut mengiba di depan gue.

(Dhini-Me)

(Dhini-Me)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Iya iya... Makanya tadi jangan asal ninggalin gitu aja dong." kata gue sambil duduk disampingnya.
"Sorry dong mbak.. Habisnya tadi keburu lapar gue.." rengek Dhini.
"Oke... Tapi jangan di ulang lagi ya." kata gue lagi.
"Siyappp bos..." balasnya manja sambil hormat, membuat suasana jadi cerah dan nyaman. Itu yang gue rasakan ketika wajah polos Dhini senyum bahagia.






(To be continued part 11)

Malaikat tak hanya ada di SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang