0.7

5.1K 653 96
                                    

Sumpah, Hyunjin lelah sekali.

Cowok itu mengusap kasar wajahnya sendiri dengan telapak tangan, merasakan permukaan kulitnya yang jauh dari kata halus sentuh belah pipi tirusnya yang digelayuti kantuk. Ia menepuk-nepuk di sana, berusaha mempertahankan kesadaran dan mengembalikan fokus yang sempat hendak mengawang pada seutas jalan sarat kendaraan bermesin di depan kaca. Setir kembali diputar, Hyunjin menghela nafas lega setelah bisa mendapati gerbang perumahan tempat keluarga mereka tinggal.

Hari ini berjalan tidak selancar biasanya. Jadwal kuliah yang padat sedari pagi hingga sore membuat Hyunjin bisa merasakan kepalanya mulai pusing dan telinganya pengang karena dipaksa terus-terusan mendengar materi membosankan dari dosen pengajar tanpa jeda —sekalipun jeda, Hyunjin tidak sempat untuk sekedar mengisi perut karena selang antar kelas tidak bisa dibilang jauh.

Belum lagi seabrek tugas baik presentasi maupun makalah yang masih menjadi list hutangnya pada dosen —yang di mata Hyunjin sudah beralih wujud menjadi sesosok monster bertanduk dengan cambuk di tangan kanan— yang sebagiannya belum dikerjakan sama sekali. Hyunjin bisa merasakan otaknya cenat-cenut tidak karuan dan seluruh persendiannya melemas tiap mengingatnya.

Cowok itu menyempatkan diri untuk sekedar mengucek kedua matanya yang berat sekilas sebelum menyambar tas punggung yang teronggok pasrah di bangku penumpang. Ia membuka pintu mobil dan berjalan terseret ke arah pintu rumah yang tertutup.

Lampu di teras sudah menyala, mungkin Bunda sudah pulang dari kesibukannya dengan butik miliknya yang baru berdiri dua bulan lalu di salah satu sudut ibukota —Ayah yang membiayai modalnya karena Bunda mengeluh bosan menjadi ibu rumah tangga yang hanya ongkang-angking di rumah menunggu aliran dana belanja dari suami.

Keadaan rumah sepi ketika Hyunjin menarik kenop pintu yang tidak dikunci —membuat cowok itu kembali mengeluhkan kebiasaan Bunda yang seringkali lupa bahkan hanya untuk memastikan rumah aman dari pencuri atau perampok —, tidak berbeda jauh dengan keadaan di luar rumah yang hening karena faktor waktu yang sudah menginjak senja. Cowok bersurai kelam itu melangkah masuk, menjejak ubin rumah yang diselimuti karpet hangat.

Hyunjin tidak mendapati presensi Bunda di ruang keluarga atau di ruang tamu. Biasanya, di sore hari Bunda akan menonton televisi dengan secangkir teh dan biskuit atau sekedar membaca novel di sofa.

"Bunda?"

"Di dapur, Jin!"

Hyunjin tersenyum geli. Cowok itu kembali mengayunkan tungkai ke sumber suara. Ia bisa melihat punggung Bunda di dekat kompor, mengaduk sesuatu entah apa yang tengah direbus. Bau harum hangat yang familiar merambati paru-paru Hyunjin, membuat cowok itu mulai rileks.

"Sup daging kesukaan kamu. Belum makan malam di luar kan?"

"Belum kok. Kan Bunda sendiri yang nyuruh makan di rumah."

"Tumben nurut, biasanya bebal." Bunda menoleh, menuding kulkas dengan dagu. "Minum jus jambunya."

Hyunjin menurut. Cowok itu beringsut mendekat, membuka lemari pendingin dan meraih segelas jus yang sudah dingin dari sana. Rasa menggigil yang manis mulai menggigit lidahnya, membuat Hyunjin mengernyit sejenak.

"Felix mana, Bun?"

"Di kamar. Lagi beres-beres kayanya."

Hyunjin menoleh, tatap Bunda dengan pandangan bertanya. "Beres-beres?"

"Adikmu kan mau study tour besok. Lupa?" Bunda beralih menyiapkan wajan, hendak menggoreng tempe. "Sana samperin, bantuin siap-siap."

"Kenapa harus ikut study tour sih, Bun?" Si sulung tidak senang. "Kalau sekedar ke Bandung atau Malang, Hyunjin juga bisa biayain. Kita juga udah sering ke sana. Kenapa Felix harus ikut?"

Broshit [HyunLix]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang