Seungyoun's POV

28 2 0
                                    

Aku cuma ingat itu hari yang indah. Salah satu rekanku ngabarin kalau laguku sudah diterima di salah satu label tersohor di bumi Amerika sana. Apalagi ayah? Gila, dari pagi ketawa-ketawa gak jelas saking semangatnya. Kita sama-sama bermimpi buat berkarir disana, manggung disana, menguasai musik disana.

Ayahku hidup dibalik tembok tinggi singasana keluarga Cho dengan skenario hidup yang sudah diatur bahkan sejak ia belum mengenal alfabet. Ia harus selalu mengikuti aturan keluarga tentang sekolah, ekstrakulikuler, bahkan materi manajemen yang sepertinya kurang cocok untuk seorang anak berumur 10 tahun.

Semua beliau telan bulat-bulat, berharap semuanya akan segera berakhir ketika ia menjadi CEO. Namun ternyata setelah menjadi CEO pun skenario hidupnya masih terus diatur. Ia harus menikahi seorang wanita yang dengannya kerajaan bisnis mereka bisa terus berkembang. Disitulah ia bertemu ibuku, penerus kerajaan bisnis hotel terkemuka di Asia itu. Ayahku pun ternyata sudah lama jatuh cinta padanya. Sejak ia sering ikut dalam pertemuan bisnis orang tuanya. Tapi hanya bertepuk sebelah tangan.

Ayahku tahu jika ibuku semasa itu sedang menjalin hubungan dengan seorang pria. Tahu persis siapa dia, latar belakangnya seperti apa, tapi tetap nekat datang melamar. Ibuku tahu ayahku sudah kadung cinta, ia memberi syarat, boleh menikahinya tapi tetap diijinkan bersama pria itu. Ayahku pura-pura setuju, padahal hatinya sakit luar biasa.

Orangtuaku lalu pisah rumah, tapi belum secara formalitas. Aset-aset bersama masih mereka pertahankan, pernikahan hanya sebatas surat pernyataan. Tapi ayahku benar-benar mencintai ibu dengan sepenuh jiwa. Ia rela pisah rumah dengan syarat mereka tidak bercerai. Antara bodoh dan cinta memang sangat berbeda tipis.

Ayahku meminta untuk tinggal bersamaku. Aku juga memilih seperti itu. Mana bisa tahan aku tinggal dengan ibu yang berkhianat? Berbeda dengan ayah, aku sudah lama selalu bentrok dengan ibu. Ayah selalu membebaskan mengerjakan hal apapun. Musik, olahraga, seni apapun, ayah selalu mendukung. Tidak seperti ibu, yang selalu mengacung-acungkan nilai rapotku sambil selalu bilang aku ini bodoh turunan siapa.

Kami lalu tinggal berdua. Hanya aku dan ayah. Setiap malam setiap letih, ayah selalu memintaku bermain musik. Apapun, sampai ia ketiduran di kamarku dengan senyuman hangat. Setiap hari Minggu juga ayah mengosongkan jadwal, bernyanyi bersamaku, mengajariku berenang, memancing, sambil sedikit-sedikut ia memberi pengetahuan soal perusahaan. Tapi ia selalu bilang, jangan memaksakan diri. Ayah selalu punya staf yang hebat katanya, jadi kalau aku tak mau, aku tak perlu kembali ke perusahaan dan cukup menitipkan beberapa lembar saham.

Ayah selalu bilang, mati pun, semua uang ini hanya akan ia tinggal. Atau menjadi rebutan kerabatnya.

Ayah ingin aku selalu memilih sendiri jalanku. Itulah mengapa aku adalah satu-satunya klan Cho yang mengambil pendidikan musik dan seni sejak dini. Sampai-sampai nenek marah besar.

Aku masih ingat setelah lama pisah rumah, ibuku datang membawa Dohyon. Ayahku marah. Marah luar biasa. Tiba-tiba ia gelap mata, ia begitu marah karena ibuku mempunyai anak bukan dari darah dagingnya. Ayahku membolehkan ia bersama pria itu tapi tidak begini. Tidak seperti ini.

Ayahku bodoh, tapi ibu tidak menyangka ia tidak sebodoh itu.

Mendadak ayah pingsan. Collapse di depanku. Ibuku bergeming dan justru meninggalkan aku dengan kepanikan luar biasa yang anak berumur 15 tahun tidak pahami. Aku cuma ingat saat aku mengambil kunci mobil lalu tergopoh-gopoh menggendong ayahku sendiri ke mobil. Aku sudah lama belajar menyetir tapi tak pernah menyetir sendiri. Selalu ada ayah yang menemaniku dan itupun tidak pada situasi mendesak seperti ini.

Ini gila. Ayahku masih tidak sadar dan aku merasa napasnya mulai tidak teratur. Aku injak pedal gas sekencang yang aku bisa. Tapi karena letak rumahku diatas bukit, mau tidak mau aku harus tetap kontrol setiap ada kelokan.

Malangnya, aku salah perhitungan saat itu.

Aku ingat kedua anak itu. Amat sangat jelas terekam di mataku. Mereka berdua terkapar, darah dimana-mana serta penampilan mobilku yang ringsek. Teriakan ibuku yang membahana melihat keadaanku juga semakin membuat kalut.

Aku tidak punya surat ijin, pun mengendarai mobil tanpa ada pengawas. Ditambah menabrak kedua anak tak bersalah. Rasanya aku sudah membayangkan dinginnya penjara di benakku. Masa depanku pun tiba-tiba terlihat kelam.

Ditambah ayahku yang tak juga bangun dan ternyata memang sudah harus dijemput. Berbulan-bulan aku mengurung diriku di kamar. Ibuku sama sekali tidak membolehkanku keluar rumah. Tahu-tahu semua permasalahan selesai begitu saja.

Aku tak tahu apa yang terjadi dengan si anak lelaki tapi aku mendengar jelas ketika ibuku bilang sudah mengirim anak perempuan yang satunya berobat di Amerika. Aku tiba-tiba memiliki ide untuk pergi saja dari Korea dan sekolah di Amerika. Ibuku menyanggupi asalkan aku mau mengambil jurusan manajemen dan bisnis.

Aku menyanggupi. Toh memegang alat musik saat itu juga sungguh sangat berat untukku.

Aku pergi ke Amerika dengan kawalan super ketat dari keluarga. GPS-ku dipantau. Rumahku dipasang CCTV di setiap sudut, dan jika terjadi sesuatu, ibuku akan langsung menelepon dlm hitungan detik.

Aku menemui gadis itu diam-diam. Dibantu banyak pihak terutama staf ART. Aku diam-diam mengunjungi resto orangtuanya yang menjajakan banyak makanan khas Korea disana. Sangat membantuku yang sedikit sulit makan dengan citarasa Amerika. Mereka tak pernah tahu, akulah yang menghancurkan mimpi anaknya.

Perlahan, aku menyentuh alat musik lagi. Awalnya karena gadis itu. Gadis itu entah mengapa selalu bereaksi ketika aku memainkan musik atau hanya sekedar bersenandung. Hingga ia sadar dari komanya yang panjang setelah 1 tahun dan tersenyum berterima kasih padaku. Aku masih ingat ketika kamu terapi dan kamu minta aku yang ada di sisimu.

Ibuku menikah lagi dengan pria itu dan dia memberikan perusahaan rekamannya untuk aku pugar dan urus. Dohyon, anak manis itu, dia tak hentinya membuatku terenyuh. Seumur itu, sudah serius menekuni musik. Dia terus membujuk aku untuk ikut tinggal di Amerika dan serius bersekolah disana hingga aku pun setuju. Dia adalah trainee pertamaku, aku sendiri yang mengajarinya, mengurusnya, menciptakan lagu untuknya.

Perlahan aku tahu, aku bisa saja melebarkan sayap bisnis keluarga di bidang ini. Aku bisa dapat keduanya. Bisnis keluarga Cho dan Nam berkembang, pun aku juga masih bisa melakukan yang aku suka dengan musik.

Aku masih ingat, laguku yang aku ciptakan bersama ayah saat dahulu, akhirnya rilis dan menjadi titik puncak karirku hingga sekarang. Lagu kami berdua disukai, disayangi banyak orang, bahkan membuat namaku melambung. Seakan ayahku tetap membantuku meski dunia kami sudah terpisah jauh.

Aku berhutang padamu atas banyak hal, Lee Hari. Karenamu, aku mau hidup kembali. Aku mau bermusik lagi. Aku pun bisa berdamai dengan ibuku (walau pertengkaran masih selalu ada).

Aku harus melakukan semuanya untukmu. Aku menekuni dunia modelling, fashion, semua aspek entertainment, karena aku tahu kamu mau mengembangkan sayapmu disitu dan memang kamu tidak tertarik di bidang musik. Aku harus selalu bantu kamu, apapun, berapapun harga yang harus dibayar.

Aku minta maaf karena aku orangnya, Lee Hari.

Dilema Diana (Han Seungwoo AU)Where stories live. Discover now