34. Yang sebenarnya

2.7K 336 35
                                    

Pada akhirnya, tidak ada yang bisa disalahkan. Manusia memiliki takdirnya sendiri. Bukan salah Madam, apalagi penyakitnya. Bukan salah Xilon karena ingin menyusul mamanya. Bukan salah Nandara menolong Xilon. Dan tentunya bukan salah Sagitta menyerahkan hidupnya pada sang anak.

Takdir telah digariskan. Sama seperti pertemuan Nandara dan Xilon. Begitu pula pertemuan dengan Madam yang ternyata adalah mama Xilon. Nandara tahu, hidupnya telah terhubung dengan kehidupan orang lain. Bersama dengan jam pasir yang menunjukkan waktu semakin cepat berlalu.

Ada hal-hal di dunia ini yang memang terlihat simpel. Namun, ternyata tidak semudah itu. Sama seperti Madam yang menganggap bahwa keputusannya benar. Mengakhiri hidup lebih awal dan tidak mengucap salam perpisahan. Tanpa ia tahu bahwa hal simpel yang ia abaikan malah berakibat buruk. Namun, apakah Nandara juga salah dalam mengambil keputusan? Ia harap tidak.

Nandara melewatkan pertemuannya dengan Xilon. Ia sengaja tidak menemui lelaki itu. Bahkan ia mengabaikan puluhan chat dan telepon. Lagi, ia hanya bisa menghindari Xilon dengan keegoisannya.

Nandara memilih pulang ke rumah. Dibawanya wajah lesu hingga menimbulkan pertanyaan di benak sang papa. Lantas Nandara hanya menggeleng, mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Akhirnya, ia berbohong.

Saat hendak masuk ke kamar, Oktan lebih dulu menghadang jalannya. Nandara sedang tidak ingin berdebat hingga mendorong tubuh adiknya agar tidak menghalangi jalannya.

"Sekarang gue ngerti," ucap Oktan membuka pembicaraan.

Pergerakan Nandara yang hendak membuka Nanda kamar terhenti. Ia memandang lekat adiknya.

"Apa yang elo ngerti?" tanya Nandara menyuarakan rasa penasarannya.

"Elo dan Kak Xilon sama-sama saling berkorban. Karena pada akhirnya tetap ada satu orang yang bakal meninggal. Entah itu lo atau dia," tutur Oktan.

Nandara mencengkram bahu Oktan. Ia menatap adiknya dengan tajam. "Kasih tahu gue. Apa yang elo tahu," desak Nandara tidak sabaran.

Merasa tidak nyaman dengan cengkraman sang kakak, Oktan mengempaskan tangan Nandara dari bahunya. Ia menghela napas panjang.

"Lo udah tahu, Kak. Lo ngasih kehidupan ke Kak Xilon dan Manda ngasih setengah kehidupannya buat elo. Itu yang terjadi."

"Jelasin ke gue, Tan. Yang sejelas-jelasnya," tegas Nandara.

"Jangan tanya Oktan, Nda. Tanya aja sama Manda sekarang."

Suara itu berasal dari belakang Nandara. Gadis itu membalikkan badannya dan menemukan sosok mamanya di kursi roda bersama sang papa.

"Ma ...."

"Lima belas tahun yang lalu, kamu selalu sakit-sakitan, Nda. Sejak kecil tubuh kamu lemah. Lalu, hari itu kamu dirawat di rumah sakit. Untuk pertama kalinya, kamu terlihat bahagia karena dapat teman baru. Dia adalah Xilon."

Sang mama menjeda kalimatnya. Nandara tidak berkutik, ia terlalu penasaran dengan cerita mamanya. Jantungnya bahkan dua kali berdebar cepat.

***

Lima belas tahun lalu ...

Nandara merasa bosan ditinggal sendirian di dalam kamar. Sedangkan teman barunya sedang terlelap. Ia pun memejamkan mata, berharap kebosanan menghilang lalu tertidur pulas. Namun, tanpa sengaja gadis kecil itu melihat sesosok wanita datang menemui anak lelaki yang terbaring di sebelahnya. Wanita itu menangis dan mengatakan beberapa hal yang Nandara sendiri tidak begitu paham.

Sebuah cahaya biru yang indah menarik mata Nandara. Dan itu berasal dari kalung yang dikenakan sang wanita. Tidak hanya itu, aroma jasmine yang harum pun memenuhi rongga hidung Nandara. Wangi yang sama persis dengan bunga yang ditanam di depan rumahnya.

Jasmine Addict (Tamat)Where stories live. Discover now