36. Sapu Lidi Panjang Nenek Sihir Itu Ya, Kak?

37 11 0
                                    

"Catat saja semua." Suruh kakak pembimbing laki-laki tersebut, "Masalah seperti itu belakangan. Kita lanjut. Untuk hari pertama MOS besok, kita pakai baju olahraga. Sudah ada semua, 'kan? Punya semua?

Kami mengangguk. "Punya!"

"Kemudian bawa cangkul untuk laki-laki dan parang untuk perempuan. Kalian masing-masing harus bawa juga sapu ijuk-"

"Yang sapu lidi panjang nenek sihir itu ya, kak?" Potong salah satu peserta MOS perempuan.

"Yang itu juga boleh, tapi sapu lidi biasa tanpa tongkat juga tidak apa-apa. Pokoknya sapu yang terbuat dari tulang daun kelapa-kelapa itu."

"Kak?" Peserta perempuan lain mengangkat tangan.

Kak Fauzio menaik-turunkan tangannya ke dia beberapa kali, menyuruhnya untuk menurunkan tangan "Nan-nanti dulu." Lalu dia melanjutkan penjelasannya yang terpotong tadi. "Hari kedua masa orientasi nanti. Kalian harus memakai baju kaos lengan panjang warna oranye, jingga. Untuk bajunya itu beli sendiri, cari di toko pakaian. Untuk bawahan, celananya harus kain, ingat jenis kain, yang warna hitam. Jangan jenis celana jeans, denim. Walaupun itu hitam, jangan berani-berani memakainya. Dirobek atau disuruh dilepas nanti sama panitia. Siapkan juga tas yang terbuat dari karung beras atau karung goni. Cari di pasar tradisional yang menjual beras atau toko sembako. Beli karungnya di sana lalu buat sendiri atau terserah kalian membuatnya bersama siapa atau membeli yang sudah langsung jadi kalau ada."

Kakak pembimbing perempuan terlihat memberikan lap tangan warna jingga pada kakak pembimbing laki-laki, terus kakak laki-laki itu menunjukkan kembali sapu tangan tersebut pada kami.

"Terus untuk yang dipasang di leher di bagian belakang, cari lap tangan yang warnanya seperti ini."

Semua peserta MOS melihat ke depan kelas, memandangi lap tangan bergaris-garis warna oranye yang ditunjukkan oleh kakak itu.

"Jangan warna lain. Harus jingga. Untuk tag nama kalian ... tahu tag nama, kan? Itu, tag nama yang dipasang di bagian sini, digantung di bagian ..."

Kakak itu menunjuk bagian leher lalu di belakang punggung. "itu buat dua. Buat sendiri, cetak. Kalung untuk menggantungkan tag nama di leher kalian, warnanya juga harus sama dengan warna distrik. Oranye, jingga. Bentuk tag nama kelompok kita berbentuk prisma,"

Kak Fauzio mendekati papan putih di belakangnya lalu membuka tutup spidol kemudian menggambar sesuatu. Setelah jadi dia memperlihatkannya pada kami, "seperti ini. Bentuknya seperti ini. Distrik lain beda lagi bentuknya. Ini khusus untuk distrik oranye, harus ini. Jangan beda-beda. Laminasi biar tidak cepat rusak."

'Laminasi biar tidak cepat rusak' kata kakak itu. Ketika aku mendengar 'laminasi' dan kata itu ditambah dengan "biar tidak cepat rusak" otakku langsung membuat gambaran liar yang akan terjadi di acara MOS nanti.

Reaksi rekan-rekan kelompokku yang lain juga agak gimana gitu mukanya setelah mendengar hal tersebut. Mereka mungkin juga membayangkan atau memikirkan hal yang sama seperti yang kupikirkan sekarang.

Peserta perempuan yang sama, yang disuruh Kak Fauzio menurunkan tangannya tadi mengangkat tangannya lagi. "Kak, misalnya habis bagaimana? Boleh tidak kalau warna kalungnya itu bukan warna-"

Kak Fauzio langsung menjawabnya. "Harus warna itu. Tidak boleh yang lain, harus warna oranye."

"Tapi, kak. Mmm ..."

"Tidak sulit untuk menemukan itu, cari saja di toko-toko kain atau peralatan jahit pasti ketemu. Kelompok ini sudah lama terbentuk. Dulu kakak masuk ke kelompok yang warnanya itu bukan warna primer, warna dasar. Sulit sekali dicari barang yang berwarna itu. Stoknya selalu habis. Oranye juga termasuk warna campuran, namun warna ini yang paling mudah. Anggota damkar kita juga oranye."

Kakak pembimbing laki-laki tersebut kemudian mendapati semua yang ada di dalam kelas saling bertukar pandangan satu sama lain. "Ada lagi?" Tanya kakak itu, namun mereka tidak ada yang bertanya, hanya diam.

"Tidak ada? Catat ini untuk isi tag nama kalian ... dan juga yang satu ini." Lanjut kakak itu.

Seusai pengarahan, kami melakukan jeda sebentar untuk istirahat. Aku ikut membantu kakak pembimbing perempuan distrikku, Kak Aldi, bersama rekan kelompok perempuan lainnya, menyiapkan makanan untuk teman-teman anggota distrik kami.

Kami pergi ke kantor guru untuk mengambil paket katering bagian kelompok kami.

Di depan ruang guru, banyak sekali kakak-kakak panitia, kakak pembimbing yang memiliki tanda pengenal seperti kakak pembimbing perempuan distrikku dan para peserta MOS dari distrik lain, turut mengambil paket makanan bagian kelompok mereka.

"Eh? Beneran, kak?"

Dan juga ada kakak panitia atau kakak pembimbing yang sedang menjahili peserta MOS perempuan.

Kakak laki-laki itu mencoba menakuti dua gadis tersebut dengan menunjuk satu-persatu meja guru yang ada di dalam ruangan sambil menjelaskan siapa-siapa saja yang duduk di sana.

"Meja guru yang ada di depan itu adalah guru yang paling galak, Di samping kiri mejanya itu adalah guru pemarah, meja yang itu adalah salah satu guru perempuan yang super disiplin, dan meja guru yang ada di sana itu suka memberi ceramah."

Dia bisa bebas melakukan hal tersebut karena ruang guru sedang tidak ada gurunya di ruangan. Hanya beberapa kakak-kakak panitia sama kakak pembimbing yang ada. Terus kata kakak pembimbing perempuan distrikku, mereka akan mengunci pintu kantor setelah semua semua kelompok selesai mengambil paket katering mereka.

"Dan itu adalah meja guru pemindai ...."

Yang paling terdengar menarik adalah guru laki-laki yang saat ini sedang diterangkan kakak laki-laki tersebut. Dari penjelasan kakak itu. Mata beliau katanya dapat mendeteksi siswa/i yang memiliki potensi menjadi tukang onar di sekolah sebelum murid itu melakukan suatu keonaran.

"Ayo kita kembali ke kelas." Ajak kakak pembimbing perempuan distrik kami, memecah lamunan yang kubuat.

"Ah, iya kak."

***

Adiknja (SELESAI)Where stories live. Discover now