108. Kemudian Aku Selesai

18 2 0
                                    

Akhirnya kami berhasil pergi dari sana. Luas biasa sekali kami bisa meninggalkan kelas lubang hitam tersebut.

Dan hal pertama yang kami lakukan adalah merapikan pakaian kami. Jujur waktu pertama kali kami menyadarinya, baju kami berantakan sekali.

Aku lalu mengajak gadis distrik abu-abu untuk duduk istirahat di meja pohon depan gedung utama sekolah sambil memeriksa tanda tangan yang akan dikumpulkan. Takutnya kalau ada kakak kelas yang terlewat. Setelah kupersiksa, ternyata punyaku lumayan banyak yang masih bolong-bolong, kukira tidak ada yang kurang lagi kecuali tanda tangan kakak genit sama Elisha Vania.

"Bisa aku pinjam kertasmu?" Izinku ke gadis distrik abu-abu.

"Mau kau apakan?" Tanya dia balik seraya memberikan padaku papan penjepit yang ada kertas tanda tangan milik dia dengan muka sedikit ragu-ragu.

"Meniru tanda tangan." Jawabku datar ketika aku menerima papan tanda tangan milik dia.

Aku kemudian melihat tanda tangan kakak-kakak senior yang lain dan tentu saja tanda tangan si Elisha Vania dan kakak genit. Uwah, tanda tangan Elisha mirip terlihat seperti arsiran seorag Fashion Designer sementara Kak Rudy kulihat tanda tangannya lebih parah dari lintasan roller coaster.

Aku benar-benar tidak pernah meniru tanda tangan seseorang sebelumnya, ini adalah yang pertama kali, namun kekacauan tadi dapat menguatkan alasan perilaku tidak baikku ini menjadi masuk akal jika tanda tangan tiruan yang akan kuciptakan ini kedepannya dipertanyakan.

Kemudian aku langsung melakukannya dan gadis dari distrik abu-abu tersebut kaget melihatku dan membuat ekspresi 'Eh!? tunggu!' ketika aku menggores pulpen, meniru tanda tangan Elisha dan kakak genit di kertas tanda tangan punyaku langsung. Tanpa latihan mencorat-coret terlebih dahulu di kertas lain.

Kemudian aku selesai.

"Bagaimana?" Aku lalu menunjukkan papan tanda tangan berisi tanda tangan tiruanku tadi ke dia, meminta pendapatnya.

"Ya ampun. Aku tidak mengira kamu dapat melakukannya sampai sebaik itu hanya dalam sekali coba." Jawab dia.

"Kalau nanti masih ditanyai aku juga punya alibi kalau aku mendapatkannya saat keadaan sedang rusuh"

"Dan kalau trik tersebut sudah digunakan oleh siswa lain?"

"Lalu akan kukatakan lagi kalau kakak nomor 1 dan 8 ini menulisnya secara terpaksa di atas telapak tangan, saat berdiri." Aku kemudian memberikan ekspresi gimana-gimana ke dia lagi sesudah penjelasanku barusan, terus gadis tersebut cuma geleng-geleng.

"Lakukan semaumu." Kata dia.

"Terus tanda tangan kakak-kakak yang lain?" Sambungnya lagi.

"Oh, iya. Aku baru ingat." Aku lalu lanjut meniru tanda tangan kakak senior lain yang masih belum terisi dengan hanya sekali coba lagi.

"Hei, apa tiga nama sesudah nama Elisha ini adalah wakil ketua, sekretaris dan bendahara OSIS?"

"Hmm ... oh itu. Mereka buka-"

"Bagaimana kau mendapatkan tanda tangan mereka?"

"Mereka bukan anggota OSIS, mereka kakak-kakak panitia biasa."

"Ok. Kenapa bisa begitu? Apa OSIS kita tidak punya tiga orang ini?"

"Nah, kalau itu aku tidak tahu. Teman-temanku distrikku juga penasaran kenapa. Apalagi waktu perkenalan eskul kemarin-"

"Oh iya, yang itu ..." Potongku.

"Nah ingatkan? Pas si kakak siapa namanya tadi, Kak Rudy. Dia tidak memberitahu kita nama-nama mereka saat perkenalan OSIS."

"..."

"Sepertinya jabatan tersebut kosong." Kataku menebak-nebak.

"Sepertinya." Sahut gadis distrik putih, lirih. Sepertinya ia juga setuju dengan asumsiku tersebut.

Setelah perbuatan meniru tangan tangan itu selesai. Kami pergi untuk mengumpulkan kertas-kertas tersebut pada masing-masing kakak pembimbing distrik kami. Lalu kami duduk kembali di meja pohon, meregangkan badan, ngobrol-ngobrol, bertukar identitas diri, asal sekolah dan jurusan yang dipilih.

"Heh ... administrasi perkantoran, ya. Aku Multimedia. Boleh tahu alasan kenapa kau memilih jurusan tersebut?"

"Sebenarnya aku tidak tahu juga kenapa."

Aku mengerinyitkan dahi. "Maksudmu?"

"Iya, aku juga bingung waktu itu pada saat memilih. Tapi karena papa-"

Eh? Papa?

"Ayahku bilang ..."

Ah, dia menggantinya.

"... pekerjaan yang ku mau ilmunya banyak dijurusan tersebut jadi kupilih yang itu."

"Heeh ... pekerjaan apa memangnya?"

"Ah, itu ..." Dia berhenti melihatku, terus melihat ke arah lain lalu melihat ke sini lagi. "itu rahasia. Maaf." Katanya sambil tersenyum.

"Ok ..." Aku mencoba menghormatinya. "Kau tampak berbeda dari orang yang pertama kali kutemui." Kataku pada gadis ini, berusaha mengganti topik.

"Kenapa?"

"..."

Saat ini boleh tidak, ya aku mulai membahas dan menanyakan tanggapan dia mengenai kejadian yang dialami oleh kelompoknya, yakni distrik abu-abu, yang yel-yelnya sama itu? Mumpung aku bicara sama salah satu anggotanya ini.

Ya, 'kan? Ada yang masih ingat kejadian semalam? Aku juga baru mengingat itu. Makanya aku mau tahu lebih jauh.

Namun barangkali hal tersebut tidak perlu dilakukan saja, ya, 'kan? Lagipula itu sudah jadi masa lalu. Mungkin yang ini saja, deh.

"Kau seperti memiliki dua mode." Terangku memulai. "Mode serius yang terus fokus sampai masalah yang kau miliki itu selesai dan mode santai yang membuatmu tampak seperti ..."

"Oh, itu." Gadis tersebut lalu menyembunyikan muka dengan sedikit menunduk kemudian tengadah lagi. "Kelihatan beda sekali, ya?" Tanya dia.

Aku mengangguk. "Ya, berbeda sekali."

Ia membuang pandangannya ke arah lapangan basket, melihat peserta-peserta MOS berlalu lalang di sana.

"Aku juga tidak tahu kenapa." Lalu dia kembali melihat ke arahku lagi. "Mungkin karena aku merasa tertekan?" Jawabnya sambil tersenyum malu.

"Tertekan kenapa?"

"Terus terang, aku sudah sering mendengar apa yang baru saja kamu ucapkan tadi dari teman-teman TK-ku, SD, SMP dan juga rekan-rekan kelompok distrikku. Tiap kali aku diberi tugas aku seperti harus menyelesaikan itu segera. Semacam apa ya, aku ini-"

"Semacam perasaan takut tidak bisa menyelesaikannya secara tepat waktu? Gugup?"

"Barangkali seperti itu. Tapi lebih dari sebuah kegugupan kurasa."

"Hmm ..." Aku mengangguk-ngangguk pelan.

***

Adiknja (SELESAI)Where stories live. Discover now