Bab 14: Luka - Berbagi

5.9K 1.1K 141
                                    

"Jatuh dari motor itu sakit.

Tapi lebih sakit jatuh cinta,

terus enggak berbalas."



"Sakiiit!!!"

Laudy baru meluncur beberapa meter saat sepeda yang dia tunggangi didorong Kian dan dilepas ketika dia oleng, menjatuhkan badan ke tanah, lalu melolong seolah neneknya meninggal. Kian mengembuskan napas keras. Belum apa-apa, hebohnya sudah bisa mengumpulkan warga se-RT. Kian ingat kecelakaan yang pernah dialaminya dua tahun lalu, saat dia jatuh dari motor dan pegelangan kakinya retak. Jika yang mengalami itu adalah Laudy, pasti cewek itu sudah menangis darah.

Rencana awalnya adalah belajar naik motor. Namun, karena Laudy yang terlalu takut, Kian meminjam sepeda Nia, teman kos mereka. Prinsipnya, jika bisa menjaga keseimbangan badan saat naik sepeda, akan mudah belajar sepeda motor. Begitu yang dia ajarkan dan Laudy terima. Lebih baik jatuh dari sepeda daripada motor. Belum pernah dia dengar kasus orang meninggal karena tabrakan sepeda.

Tiba-tiba, gaduh suara Nando dan Arsen mencapai telinganya. Kian lupa dia sedang menerima telpon.

"Apaan, sih?"

"Astagfirullah, Kian! Insap, Bro. INSAP!"

"Anak orang itu! Belum lo halalin udah telor ceplok aja!"

Alis Kian menyatu, sementara napasnya memburu, lelah setelah banyak usaha memegangi dan menuntun sepeda yang dibawa Laudy. "Apaan, sih? Gue sibuk. Ntar aja, ya."

"Weiii, mau lanjut, nih?!"

"Ronde dua, ya?!"

"Gas teros, Bos!"

Kian tidak paham kenapa teman-temannya mendadak gila. Sepertinya, ada hubungannya dengan cuaca siang ini yang tidak terik, tetapi hawanya lembap luar biasa. Dia juga tidak sempat bertanya lebih lanjut karena Laudy masih terduduk di tanah, di samping sepeda yang keranjangnya penyok. Harus bilang apa sama Nia nanti? Buru-buru dia mengakhiri panggilan dan menyimpan kembali ponselnya.

"Jahat banget lo, Tiang!" Laudy bersungut-sungut begitu Kian menghampiri. "Gue lagi terluka, malah asyik-asyik telponan."

"Sori." Kian tidak mengulurkan tangan dan malah berjongkok di hadapan Laudy. Tangannya meraih rambut cewek itu, menyingkirkan daun kering yang tersangkut di antara keritingnya. "Lo enggak becus banget, sih, bawa sepeda gitu aja."

Binar di mata Laudy jatuh mendengar komentar itu. Bibirnya dimanyunkan. Dan, seketika, Kian menyesali ucapannya. Dia harus menebusnya. Untuk itu, dia cepat-cepat meralat, kali ini dengan suara yang lebih lembut.

"Bukan gitu maksud gue," ujarnya, ujung jemarinya yang tenggelam di antara rambut Laudy diam di sana. "Gue cuma ... enggak suka lo terluka."

Dalam hati, Kian muntah. Namun, ajaibnya, dia berhasil mengembangkan senyum, sukses membuat kerutan di bibir Laudy menghilang. "Enggak usah, deh, belajar motor. Kan ada gue."

Dugaan Kian, Laudy akan mengangguk dan menyerah. Pada hal-hal yang perlu mengeluarkan tenaga, cewek itu cepat sekali menyerah. Seperti saat dia mau membeli makan ke warung, tetapi di tengah jalan sadar dirinya lupa membawa uang. Dia pulang, dan tidak kembali lagi ke tujuan. Menyerah. Rebahan lebih enak daripada membuang-buang keringat di luar. Dan, untuk sesaat, Laudy tampak tergoda dengan tawaran itu, sebelum akhirnya dia menggeleng kuat.

"Enggak. Gue enggak mau terus ngerepotin orang! Gue enggak mau ngerepotin lo."

"Status gue kan pacar." Kian tersenyum, nada manisnya masih belum ditinggalkan. "Udah jadi tugas gue direpotin."

[CAMPUS COUPLE] Naya Hasan - Tiga MingguWhere stories live. Discover now