Bab 21: Kian - Orlando

6K 1K 125
                                    

"I am no villain:

I am the youngest son of Sir Rowl

─Sir Rowland de Boys."



Kian menarik napas dalam, berusaha menjernihkan pikiran yang menghalanginya untuk fokus. Kemudian, dia mengulang dialognya. "I am no villain: I am the youngest son of Sir Rowl─Sir Rowland de Boys. He was my father; and he ... he .... Ah, shit!"

Sekali lagi Kian meringis, lalu melemparkan dirinya ke sofa yang berantakan, dipenuhi berbagai atribut dan kostum; sepatu, jubah yang dibuat semirip mungkin dengan pakaian pada era Ratu Elizabeth, yang juga merupakan eranya Shakespeare, pedang plastik, dan masih banyak entah apa. Dia menyingkirkan kostum gaun yang mengganjal di punggungnya sebelum menjatuhkan kepala ke belakang, sekarang menatap langit-langit

Fokusnya kacau, menguap entah ke mana. Bahkan untuk menghafal dialog yang sudah dia latih jauh-jauh hari sebelumnya begitu sukar. Pikirannya rasanya terbelah, sebagian tidak bisa melepaskan apa yang menghimpit dadanya. Sudah tiga hari mereka, dia dan Luady, tidak saling menyapa. Jangankan menyapa, bertukar sepatah kata atau bertatap muka pun tidak. Hari pertama, Laudy telah mencoba mengetuk pintu, Kian tidak membukakannya. Kata maaf dari gadis itu pun terhenti pada poster lusuh di depan kamar Kian. Cewek itu juga telah mencoba mengiriminya pesan, tetapi tidak pernah ada balasan, tidak pernah sampai. Ponselnya dimatikan dan Kian lebih memilih berkutat dengan skrip dialog atau draf novelnya. Tanpa keluar kamar. Atau, setidaknya, selama Laudy masih ada di sekitar.

Kian tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Malam itu dia marah. Sangat marah sampai nyaris meledak rasanya. Padahal, itu bukan kali pertama Laudy tidak memenuhi janji, atau Laudy pulang terlambat, atau Laudy pergi bersama orang lain. Namun, entah bagaimana ... sekarang ada sesak yang mengganjal, tidak bisa dihilangkan dengan mudah.

Mungkin karena orang itu Abim. Mungkin karena perjanjian tiga minggu itu ada. Mungkin karena Kian pikir cewek itu menyukainya dan tidak seharusnya pergi bersama cowok lain. Laudy miliknya dan ... dia tidak mau berbagi.

"Kian, lo ngapain masih di sini? Bukannya siap-siap! Latih lagi kek dialog lo." Wajah bulat Ema muncul di balik pintu. Di satu tangannya ada gulungan skrip dan di tangan lainnya sebuah topi baret biru malam. Wajahnya tampak sudah mengenakan riasan meski belum memakai wig. Ema akan memerankan tokoh Celia, tokoh pendukung dalam play ini.

Kian baru meluruskan punggung dan menatapnya, belum lagi menjawab ketika cewek itu kemudian terkesiap. Matanya yang dipasangi bulu mata tebal mengerjap-ngerjap dengan berat. "Lo belum dandan juga? Ini anak make-up gimana, sih? Kan elo tokoh utamanya! Aduh, gimana, sih? Lo sana, gih, Yan. Antre duluan. Kalau kostum lo kacau, semua juga ikut kacau."

Akhir semester sudah semakin dekat. Tugas akhir sudah menari-nari di ujung mata. Teror mahasiswa sudah dimulai. Salah satunya adalah mata kuliah Play and Performance, di mana mereka ditugaskan menyajikan penampilan terbaik mereka dalam sebuah play. Kelompok Kian mengambil salah satu skrip dari play populer dan romantis William Shakespeare, As You Like It. Menjadi Kian Erlangga, dengan tinggi badan tidak kurang dari seratus delapan puluh dan wajah yang membuat mahasiswi se-PINUS menoleh untuk kali kedua tiap berpapasan dengannya, mustahil untuk tidak didapuk sebagai tokoh sentral pria mereka: Orlando, putra bungsu Sir Rowland De Boys yang jatuh cinta kepada tokoh utama wanita, Rosalind, yang sempat menyamar menjadi laki-laki. Namun, wajah bukan pertimbangan utama karena Kian punya bakat, minat dan kemampuan yang membuat teman-teman sekelasnya setengah kagum setengah iri. His talent absolutely speaks volume more than just his face.

[CAMPUS COUPLE] Naya Hasan - Tiga MingguWhere stories live. Discover now