Moving Out of (What I Thought) My Comfort Zone

1K 105 31
                                    

Keluar dari zona nyaman? Rasanya kayak ... mencelupkan kaki ke air dingin. Kayak keluar galaksi menuju planet lain (walaupun belum pernah nyoba). Kayak kenalan sama orang baru lewat aplikasi kencan daring. Asing, canggung, tapi lama-lama nyaman. Keluar dari zona nyaman, itulah yang kulakukan ketika memulai menulis Tiga Minggu.

Hai, Naya di sini, mamanya Kian, Laudy, Arsen, dan ibu tirinya Nando. Enggak, bercanda, belum jadi mama-mama, kok, dan belum ada hilal hal itu akan terjadi dalam waktu dekat. Oke, sebelum aku curhat hal yang enggak berkaitan sama sekali dengan Tiga Minggu, atau ini malah kayak narasi pembuka ala-ala Youtuber, mari kita kembali ke jalan yang lurus dan benar.

About how this magical event happened and gave me the light of hope. It's quiet a long story. Di sini, aku menghadirkan bintang sejuta umat, Nando, yang gantengnya naik ke langit ke-7 (kata dia) untuk membantuku memberikan pertanyaan.

Hai, ini Nando Oppa, tolong berikan cinta yang banyak. Saranghae~

Abaikan dia. I pay him to give me questions, okay? Lalu, aku akan menjawab, dengan sedikit mendongeng. Jadi, siapkan selimut, dan ... perjalanan ini dimulai.

Kita mulai dari penghujung Mei 2019, salah satu titik krusial dalam perjalanan menulisku, ketika aku memutuskan untuk kembali, memulai dari nol lagi apa yang pernah kutinggalkan dan hilang. Setelah selesai dengan skripsi pada 2015 dan memasuki dunia kerja yang benar-benar baru, aku mulai menghilang, mulai jarang menulis, mulai hiatus. Beberapa kali mencoba memulai, tapi hasilnya selalu maju mundur; menulis, lalu hilang, lalu menulis lagi, kemudian raib lagi. Kayak tukang PHP. Di titik ini, enggak bohong kalau kubilang aku sering meragukan diri, merasa bahwa menulis bukan tempatku dan sudah saatnya aku menyerah. At that time, I felt like I lost everything already; friends, support, skill.

Dan, memang hampir menyerah.

Sampai, entah dengan kekuatan apa, yang jelas bukan kekuatan bulan, aku akhirnya memberanikan diri mulai kembali menulis. Aku memilih akun Wattpad lama yang sudah memiliki banyak sarang laba-laba. Bagiku, itu adalah satu keputusan yang cukup besar, yang awalnya enggak kuyakini bakal bisa bertahan sampai seperti sekarang. Memulai menulis setelah hiatus bertahun-tahun, dengan beberapa bab awal tanpa ada yang baca sampai muncul satu orang, lalu dua, lalu tiga, lalu terus bertumbuh. Bagiku yang dulunya pernah merasakan dukungan sejumlah orang saat menulis, hal itu enggak mudah sama sekali. Namun, ajaibnya, karya pertama dapat diselesaikan hingga mencapai kata tamat, and I'm proud.

Karya pertama tuntas, and that's great! But ..., something's a little off. Aku sadar dengan sepenuh hati bahwa bahasanya masih baku sekali, masih fanfiction sekali. Kayak tulisanku zaman sebelum negara api menyerang dulu. Kayak tulisan beberapa tahun ke belakang, waktu diriku yang songong ini masih anti membaca novel non-baku dengan bahasa gue-elo yang enggak membuatku nyaman.

But, look at me now. Juli 2019 kuputuskan untuk keluar dari zona nyaman, untuk melampaui jarak jangkau, mencoba sesuatu yang baru, dan menaklukkan dunia (oke, ini enggak). Aku pun menulis Tiga Minggu, dengan bahasa gue-elo dan dengan kerecehan yang tidak direncanakan.

Baiklah, ada pertanyaan?

(Dengan suara mengantuk) Hmm ..., itu tadi pengantarnya udah sepanjang jalan kenangan gue sama mantan, Kak Nay, hiks. Langsung aja, deh, kok bisa berjodoh di Noura? Pake pelet? Pengin jugaaa!

Mon maap, enggak pake pelet, susuk doang. Susuk kental manis.

Jadi, ya, beberapa part sebelum Tiga Minggu tamat di Wattpad pribadi, seorang teman membagikan pengumuman kontes menulis series Campus Couple dari Penerbit Noura. Enggak yakin ikut awalnya, karena kupikir naskah Tiga Minggu ditulis asal-asalan, enggak ada harapan dan saya enggak punya waktu untuk menulis naskah baru. Ya emang, sih.

[CAMPUS COUPLE] Naya Hasan - Tiga MingguDonde viven las historias. Descúbrelo ahora