33 | The Clues 3.0

294 52 15
                                    

(warning mature content)

Author's POV

Layaknya menonton potongan adegan di sebuah film, terlihat seorang gadis tergeletak tak berdaya di parkiran bersama dengan sosok asing yang menggerayangi tubuh gadis itu. Ketika tangan sosok itu menemukan apa yang ia cari, yaitu dompet dan ponsel, sosok itu beranjak pergi.

Terbesit pikiran kotor di otak sosok itu, tangannya hampir meraih buah dada si gadis untuk meremasnya, seketika sosok itu dicekik dengan satu tangan oleh wanita bersurai panjang menjuntai menutupi wajah dan gaun putihnya. Kuku-kuku panjang nan runcing milik wanita itu menusuk kulit si sosok asing.

"Ampun! Ampuni aku!" teriak sosok itu saat ia merasakan cekikan si wanita makin erat dan kuku runcingnya menusuk makin dalam.

Tangan wanita itu terlepas ketika ia melihat si sosok asing yang kehabisan napas. Setelah tangannya terlepas, si sosok asing berlari tunggang-langgang meninggalkan si gadis yang tergeletak juga si wanita bergaun putih.

Si wanita membalikkan tubuh untuk menghadap gadis yang pingsan itu, ia mengusap pelan puncak kepalanya seraya memejamkan mata. Lisannya pun berkata, "Aku adalah Juru Selamat untukmu. Aku datang memberi pesan, tugasmu hanya menentang pesan itu, jika tidak kau akan celaka, seperti sekarang."

Tak lama kemudian, dwinetranya dibuka perlahan-lahan. Sebenarnya, si wanita sudah memperhatikan sang gadis semenjak ia diserang oleh sosok asing tadi, tetapi si wanita tak bisa menolong sang gadis semudah itu, kekuatannya terbatas.

Si wanita kemudian menggenggam tangan sang gadis, lalu ia berkomat-kamit mengucapkan sebuah mantra. Dalam hitungan detik, si wanita dan sang gadis sudah berada di depan pintu masuk sebuah rumah. Secara konservatif dapat dikatakan perpindahan gaib, tetapi secara modern dapat dikatakan si wanita dan sang gadis melakukan teleportasi.

Si wanita agak ragu-ragu mengetuk pintu, lalu manik matanya melihat adanya bel rumah, sekali lagi tangannya tertahan untuk sekedar menekan bel.

Apakah gadis yang dijaganya ini akan baik-baik saja jika bersama si pemilik rumah?

Ia sudah menjaga gadis ini sebaik mungkin, semenjak si wanita ini tahu jika sang gadis telah ditarget.

Namun, si wanita tidak mungkin melakukan perpindahan instan ke rumah gadis ini, ia tahu di sana tidak ada siapa-siapa, hanya hantu-hantu usil, tak ada manusia.

Maka dengan tekad bulat, si wanita menekan bel rumah. Hanya kepada lelaki pemilik rumah ini ia dapat mempercayakan suatu tugas.

Selang si wanita hendak menekan bel rumah lagi, pintu pun terbuka. Maka nampak lah seorang pria pemilik rumah berdiri di ambang pintu.

"Nona Malaikat?" sapa pria itu, dahinya sedikit mengernyit, "kenapa model rambutmu begitu?"

"Lihat ke bawah!" pinta si wanita bergaun putih, ia meneruskan, "gadis ini terluka parah, tolong sembuhkan dia dengan kekuatanmu."

Pria itu diam menatap ke arah gadis yang pingsan tak berdaya di lantai.

"Boleh saja," tukasnya seraya menggendong tubuh sang gadis dengan kedua tangan. "Terima kasih untuk menjaganya Nona Malaikat," imbuh si pria.

Si wanita menjentikkan jari, lalu model rambut wanita itu berubah—tak lagi menjuntai ke depan menutupi seluruh wajah-menjadi digelung rapi di atas kepala, dan membentuk dua cepol yang cantik, "Tolong panggil saja namaku, aku tak suka dipanggil 'Nona Malaikat', pada kenyataannya aku ini iblis."

Lelaki pemilik rumah terlihat cemberut, "Benar juga, kamu hanya meminjam tubuh Nona Malaikat..."

"Sudah kubikang bukan seperti itu, haruskah kujelaskan lagi?" si wanita tersenyum ramah, "waktu aku masih hidup dulu aku memang si Nona Malaikat itu, tapi setelah aku mati, hasrat balas dendamku terlalu kuat, keinginan duniawiku masih belum terpenuhi, akhirnya aku dihidupkan kembali sebagai iblis dengan kepribadian yang seratus delapan puluh derajat berbeda."

"Jadi Nona Malaikat hanya tidak suka dipanggil Malaikat lagi karena sudah jadi iblis?" tanya lelaki itu dengan wajah polos.

"Pokoknya sembuhkan gadis itu, aku pergi!"

Setelah pekikan terakhir si wanita, semua menjadi gelap, terdengar suara denging yang keras. Udara tiba-tiba menipis, bau anyir memuakkan memenuhi indra penciuman. Napas terasa tersengal-sengal. Namun, sekali menghirup tercium aroma anyir.

"Wooyeon!"

Di sela-sela hal yang menyesakkan itu terdengar suara berat lelaki.

"Wooyeon bangun!"

Suara itu terus memanggil nama yang sama.

"Lee Wooyeon!"

Akhirnya gadis itu terbangun dari mimpi sambil terbatuk-batuk dan bermandikan keringat dingin.

Manik matanya kembali menangkap wajah khawatir Taeyong, alias si pemilik rumah di dalam mimpinya.

Gadis bernama Wooyeon itu terus terbatuk, iris matanya liar menatap sekeliling.

"Kamu kenapa?!" tanya Taeyong yang menyadari sikap aneh Wooyeon. Lelaki itu memegangi kedua pundak Wooyeon.

Maka seketika itu juga, Wooyeon menepisnya dan berdiri seraya turun dari kasur, kemudian ia berjalan cepat keluar dari kamar.

Wooyeon menutup separuh wajahnya dengan kedua tangan, sewaktu terbangun tadi, di kamar itu menyemburkan bau anyir dupa yang dibakar. Baunya sangat memuakkan hingga Wooyeon merasa mual.

Sementara Taeyong keluar dari kamar tersebut dengan santainya. Setelah ia menutup pintu kamar, lelaki itu memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat untuk menghadap Wooyeon.

"Lama-lama aku terbiasa juga dengan sikapmu yang seenaknya," ujar Taeyong dengan nada menghina.

Padahal dalam batin Wooyeon, kata-kata itu justru ditujukan untuk diri Taeyong sendiri.

Sebentar, ada hal ganjil yang terjadi.

Wooyeon mematung di tempat sambil memandang lawan bicaranya.

"Kamu suka main adu tatap ya? Aku sudah kedip duluan nih, aku kalah 'kan?" ujar Taeyong yang salah paham.

"Ke-kenapa... gu-gue... kenapa gue udah sembuh?!"

Bersambung

SUA | Jeno ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang