53 | Driving Me Crazy (finale)

264 40 13
                                    

Pada sisi kanan ruang lobi yang mewah itu terdapat pintu kayu yang sama seperti pintu masuk. Eric yang memimpin jalan, langsung membuka pintu itu tanpa ragu.

Wooyeon yang berekspektasi tinggi jikalau ruangan di balik pintu ini, ialah lebih mewah daripada lobi, harus dibuat kecewa.

Di balik pintu hanya terdapat dua lorong dengan cahaya remang seperti sebelum masuk ke lobi. Wooyeon mengeratkan genggaman pada tangan Eric, perasaannya tidak enak.

"We split up here, you go to the right, i'll go to the left," celetuk Eric sambil melepaskan genggaman tangannya.

Manik mata Wooyeon membulat. Gadis bersurai sebahu ini tidak takut gelap, tetapi jika ia berada di tempat entah-berantah dan harus berpisah seperti ini. Untuk pertama kalinya ia takut.

Wooyeon melempar pandang kepada Eric. "A-apa harus? Gue, gue 'kan ga pernah ke sini, lo 'kan harus nunjukin gue jalan, ya-ya masa harus misah jalannya, bukannya gue mau ditemenin lo terus... ya pokoknya kenapa harus misah?" keluh Wooyeon dengan agak tergagap. Entah kenapa berbicara dengan Eric membuatnya sedikit gugup, sungguh sedikit, sangat amat sedikit gugup.

"Masuknya pintu beda, aku harus ke sini, kamu harus ke sana," balas Eric seraya menunjuk pada lorong di kiri dan kanannya secara berurutan.

"Tapi itu nggak ngejelasin kenapa ki-gue sama lo harus pisah!" bantah Wooyeon.

"It's the tradition okay? Women and men has the different entrance, because in there, there are maids waiting for you, we have to change our clothes you remember?"

Wooyeon mengulum bibirnya untuk tidak menjawab Eric. Hanya tindakan impulsif itu yang mampu membuat Eric menurut.

Gadis itu meraih telapak tangan Eric, kini ia tak sekedar menggenggam biasa, jari-jarinya menyusup di selusur jemari Eric.

Wooyeon dapat memastikan kini wajahnya memerah bagai tomat, dalam batin ia terus mengumpat.

Shit, shit, shit, shit.

Sang gadis menghindari tatapan intens Eric, ia memalingkan wajah karena satu hal, ia merasa malu. Malu karena tiba-tiba menggandeng tangan Eric. Gengsinya yang tinggi membuat Wooyeon tak kuasa mengucapkan bahwa sebenarnya ia takut jalan sendirian. Semoga bahasa tubuhnya cukup membuat Eric peka.

Eric tersenyum tipis. "So, you scared?"

"Hm... yeah kinda like that," gumam Wooyeon. Ia masih sama sekali enggan menatap Eric.

Lelaki itu kembali melepaskan kaitan tangannya dengan Wooyeon.

"I relieved that you're being honest, but i'm sorry, i can't break the tradition Wooyeon... you must cross the hallway alone, i promise there wouldn't be any such a things, you're going to be okay," papar Eric seraya menepuk-nepuk pundak kiri Wooyeon.

Wooyeon bergeming. Namun, sikapnya tak selaras dengan keadaan hati. Debaran jantungnya semakin menjadi-jadi.

"You can do it, don't you?" ulang Eric.

Wooyeon menarik napas dalam-dalam, entah bagaimana ia harus menjawab Eric, yang penting ia harus berani menatapnya dulu.

Wooyeon pun melempar pandang ke arah teman lelakinya itu. Tetapi, seketika Wooyeon menunduk.

Bagaimana tidak, tiba-tiba wajah Eric menjadi lebih dekat.

"What the hell you doing?!" seru Wooyeon sebab panik.

Gadis itu merasakan jemari Eric menelusuri surainya yang agak basah.

Apa ini? Apa ini? dia nggak mikir mau melalukan itu 'kan?! gundah Wooyeon. Pikiran gadis itu sudah berlayar kemana-mana.

Perlahan Wooyeon memberanikan diri untuk menatap Eric yang hanya berjarak lima sentimeter darinya.

Sorot mata tajam itu menatap Wooyeon lamat-lamat. Gadis bersurai sebahu inipun langsung memejamkan mata.

Sudah pasti tebakan Wooyeon benar, ia sangat yakin.

Dammit, why didn't i brush my teeth last night, why didn't i ate candy, or something else that make my breath not stinky, rutuk Wooyeon dalam batin.

Sudah terlambat baginya untuk menolak, satu-satunya solusi adalah mengatupkan bibir rapat-rapat. A lil peck wont hurt him, her bad breath won't be smelled.

Eric mendengus pelan. "What the heck that goes in your mind?" sindirnya.

Manik mata Wooyeon terbelalak. Nampak ekspresi wajah yang sangat familiar baginya, mungkin sedikit banyak, Wooyeon merindukannya.

Senyum puas Eric karena berhasil mengerjai Wooyeon.

"Aku hanya ambil daun ini," ledek Eric. Ia menyodorkan sehelai daun kecoklatan di depan wajah Wooyeon.

Malu bukan main menyerbu benak Wooyeon.

Tanpa menyerang balik ledekan Eric, Wooyeon melengoskan tubuh dan berlari ke arah lorong tujuannya. Langkah yang ia ambil pun juga lebar-lebar, pokoknya harus berlari sejauh mungkin dari Eric.

Imej gadis tangguh sudah hancur lebur pada diri Wooyeon. Sekarang ia hanyalah seorang remaja wanita biasa yang sedang jatuh hati. Mau menyangkal sebanyak apapun, fakta itu tak dapat lepas darinya.

Wooyeon sama sekali menolak untuk menamai perasaan aneh yang menghantuinya itu sebagai kasmaran. Padahal jauh di lubuk hati, ia tahu apa yang terjadi padanya. Bersikap pura-pura tidak tahu malah membuat semuanya menjadi rumit.

Manusia memang cenderung lari dari kenyataan dengan membohongi diri sendiri. Itulah cara termudah.

Derap kaki Wooyeon yang berlari pada lantai pualam menggema di lorong. Lampu minyak yang bersinar remang selalu Wooyeon temui setiap tujuh meter, ialah satu-satunya penanda sudah berapa jauh gadis itu berlari.

Dua meter dari titik Wooyeon berada, nampak seonggok pintu kayu di ujung lorong. Gadis itu memperlambat kecepatan berlarinya dan menghampiri pintu tersebut.

Perlahan tangan Wooyeon meraih gagang pintu. Ia memutarnya hingga timbul suara 'klik' yang nyaring.

Wooyeon sadar diri, saat ini ia sendirian. Sekalipun ia mahir bela diri, tentu saja setan dan sejenisnya tidak bisa dilawan dengan itu. Dengan napas terengah-engah dan iris matanya yang bergetar, Wooyeon menghimpun keberanian untuk mendorong pintu tersebut.

Apapun yang nanti akan dihadapinya, semoga Wooyeon tidak mati dalam keadaan pendosa. Tujuan awal ia ke kantor cabang kultus ini 'kan untuk mencari kebenaran dari misteri dunia paralel itu, bukan menjadi satu di antara pengikut kultus.

Bersambung

SUA | Jeno ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang