37 | Her Fault

270 46 3
                                    

Belum apa-apa sahutan di seberang sana menyerbuku dengan permintaan tolong.

"Lo gapapa 'kan?" ujarku dengan nada heran.

"Gue gatau juga... gue udah telepon lo berkali-kali tapi ga dijawab, ya udah gue telepon nomor terakhir yang nelpon hape ini. Beruntung yang ngangkat lo."

Suara si pirang konyol terdengar gelisah. Kuharap di sana tidak sedang terjadi masalah.

"Okey, jadi kenapa lo butuh bantuan gue?" aku menegaskan ulang.

"Gue ga bisa balik ke dunia asal!"

Manik mataku membulat sempurna mendengar perkataan si pirang konyol. Dammit, apa lagi ini?

"Pokoknya lo harus ke sini sekarang juga, ada yang harus gue omongin berdua," pinta si pirang konyol tanpa terbesit nada ragu.

Aku meminum kopi dengan agresif. Temperatur suhu kopi telah turun, setelah obrolan panjangku dengan Eric setengah jam lalu.

"Gue lagi ga bisa... gue besok ada urusan!" aku menolak perintahnya. Kalian ingat besok adalah hari besar? Hari di mana aku harus menemani Eric ke kantor cabang kultus pemuja setan itu.

"Tapi 'kan masih besok Yeon, gue butuh lo sekarang!" si pirang konyol berkilah tidak sabaran.

Sambil memejamkan mata, mengeraskan rahang, mengatur napas, dan mengepalkan tangan kuat-kuat, aku menahan amarah agar tidak meledak. Kenapa lelaki itu harus merepotkanku sekarang?

Bukan maksudnya aku enggan menolong si pirang konyol, tetapi situasiku sama sekali tidak mendukung.

"Kenapa diem aja? Pokoknya ini gue tungguin ya."

Tepat saat lisanku terbuka hendak berkelit akan penolakan terhadap perintah si pirang konyol, that annoying blonde end the call.

Kuangkat ponsel itu tinggi-tinggi di udara. Tanganku mengayun untuk melempar ponsel dengan sistem Android tersebut. Sudah main suruh-suruh, basa-basi bilang terima kasih pun tidak, siapa yang tidak geram?

Namun, sebuah genggaman menahannya.

Sontak aku menoleh ke belakang.

Tentu saja Eric, sang pemilik ponsel, dengan wajah penuh tanya serta salah satu alis naik. "Whatcha gonna do with my phone?"

Aku melepas paksa genggaman Eric, lalu kuletakkan ponsel itu di meja. Ternyata lelaki ini belum pergi ke Supermarket seperti katanya tadi.

Aku melangkahkan kaki ke arah rak sepatu.

"Hei, mau ke mana?" celetuk Eric yang melihatku mengambil acak sandal atau sepatu di rak.

"Ke rumah Jeno bentar," jawabku dengan ketus. Sembari berdiri dan meraih kenop pintu, derap langkah Eric yang mendekatiku terdengar.

Aku menghentikan seluruh pergerakan saat telapak Eric memegang bahuku.  Aku menoleh kepadanya.

"Why? Did something happen?" tanya Eric seolah dapat membaca pikiranku. Alisnya saling bertaut, pun iris coklatnya menatapku dengan lurus.

Aku terdiam, haruskah aku berbohong?

Fenomena astral yang terjadi pada Jeno tak ada hubungannya dengan Eric. Jadi untuk apa aku mengatakannya, tetapi bukankah Eric sangat akrab dengan hal-hal yang berbau astral?

Apakah setelah kuberitahu Eric dapat memberi solusi?

"Katanya ada barang gue yang ketinggalan." Akhirnya aku berbohong.

"How did you know? You lost your phone, right?"

Ingin rasanya aku mengacungkan jari tengah. "He told me so through your phone a minutes ago, i better go now." Eric melepaskan tangannya yang bertengger di bahuku.

SUA | Jeno ✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora