BAGIAN 6

78 6 0
                                    

"Aku kira pelangi, ternyata badai."

-Mauri Primadanti.

***

Entah mimpi apa semalam hingga di pagi yang cerah Mauri menangis tersedu-sedu di atap sekolah. Mendongak, melihat langit yang bersih. Tidak ada tanda-tanda hujan akan datang tapi air matanya luruh tak tertahan.

"Tuhan! Kenapa rasa cinta pertama aku kau hancurkan?!" Teriaknya tanpa peduli orang-orang di bawah sana. Mauri sakit hati, kenapa Eldra membentaknya hanya karena gadis yang baru saja pindah ke sini.

Mauri tidak percaya dan menyangka bahwa Eldranya adalah pemain handal dan gampang menyakiti hati perempuan. Padahal sejak pertama mereka berpacaran, Eldra selalu berbuat manis bahkan membelanya dari makian Kei dan Naula hingga mereka tidak lagi menganggu Mauri.

Sungguh, mengapa hubungannya mudah terjadi juga mudah menyakiti? Apa ini juga salah Mauri yang terlalu percaya tanpa mau mengenal sosok Eldra terlebih dahulu?

Mauri menyeka air mata saat setelah melihat jam tangannya. "Udah bel!" Nadanya menggerutu, lantas dia meninggalkan tempat itu membuat seseorang yang sejak tadi memperhatikannya melibir agar Mauri tidak sadar akan keberadaannya.

Dia laki-laki yang selalu diam dan diam-diam peduli pada Mauri. "Kalau gue kasih tahu lo sejak pertama kali... mungkin lo gak akan rasain sakit hati, Ri!"

***


Viola dan Rara saling lirik sembari setengah menghadap belakang. Memerhatikan Mauri yang sejak masuk kelas diam dan melamun. Kejadian tadi sungguh membuat Rara dan Viola dongkol terhadap Eldra dan Mitha, mereka benar-benar tidak punya nurani.

"Mauri!" cicit Rara sembari menyentuh tangan Mauri dengan penanya.

Mauri sedikit tersentak, matanya sembab, hidungnya merah membuat Rara dan Viola meringis. Terlebih Rara yang langsung mengeratkan gigi serta mengepalkan kedua tangannya.

"Emang brengsek si Eldra anjing!" gumam Rara sembari berdiri dan hendak beranjak namun wali kelasnya keburu datang dan menegurnya.

"Mau ke mana kamu Ra?" Bukannya menjawab, Rara malah termangu akan kedatangan wali kelasnya yang tidak sendiri.

Iya, di belakang wali kelasnya ada seseorang yang amat Rara benci bahkan mungkin mulai saat ini Mauri ikut membencinya. Tidak hanya Rara, Mauri dan Viola pun ikut termangu melihat... Mitha. Perempuan yang disukai Eldra.

"Duduk, Rara!" Rara sadar dan mengurung niatnya lantas kembali duduk.

"Anak-anak, hari ini kita kedatangan teman baru." Wali kelas itu menoleh ke arah Mitha yang sama sekali tidak terlihat canggung. "Perkenalkan diri kamu!"

Mitha mulai tersenyum dan melambaikan tangannya. "Hallo, teman-teman. Kenalin nama gue Mithali sering dipanggil Mitha atau Lili, salam kenal semua." Sapaan Mitha tidak dijawab siapapun. Terlebih Mauri, Rara, Viola dan satu orang lagi... Genus yang diam-diam memerhatikan Mauri.

Wali kelasnya pun langsung tertawa hambar untuk menetralkan kecanggungan itu. "Mitha, kamu bisa langsung duduk. Emmm, di samping Mauri!"

Skak. Mendengar itu tentu membuat Mauri dan kedua sahabatnya tercengang bukan main. Sedangkan Mitha sedikit ragu namun menurut. Alih-alih langsung duduk, Rara sudah lebih dulu duduk di samping Mauri dan menatap Mitha garang.

"Orang busuk gak boleh duduk di deket temen gue!" sarkas Rara yang langsung mencekal bangku di samping Viola. "Lo juga gak boleh duduk di sini, ini tempat gue!" sambungnya yang membuat Mitha tersentak.

"Terus gue harus duduk di mana?!"

Rara dengan angkuhnya menunjuk bangku pojok di belakang Genus. "What?!"

"Wat, wet, wot. Berisik sana duduk!" jawab Rara yang langsung acuh membuat kedua temannya heran.

Dengan perasaan dongkol, Mitha berjalan ke arah bangku yang Rara maksud membuat Genus yang duduk di depannya sekilas menoleh.

"Effort banget, sampai pindah sekolah demi El!" Di ujung kalimat Genus terkekeh meremehkan membuat Mitha berusaha menahan gejolak emosi.

"Awas aja kalian!" gumam Mitha yang masih terdengar Genus.

"Lo bukan Mithali yang dulu bully Aurora," bisik Genus sembari menoleh. "Tapi, sekarang lo Mithali yang lemah karena Aurora!"

"Genus!"

***

To be continue

Sesal! Where stories live. Discover now