BAGIAN 11

65 8 1
                                    

"Mencintaimu adalah
sebuah kebodohan
yang aku ciptakan."

—Mauri Primadanti.

***

Rasanya seperti mimpi ada di fase ini bagi Mauri, bulan lalu hidupnya terasa tentram tanpa cinta, tetapi semenjak menjalin hubungan sampai putus dengan Eldra hidupnya terasa rumit dan banyak sakitnya. Mulai dari banyak orang yang tidak suka akan hubungannya, lantas sekarang setelah semua berakhir mereka tetap menyalahkan seolah Eldra adalah korban.

"Dunia remaja bersama percintaannya emang rumit, Ri!" ucap Genus yang masih setia menemani Mauri. Bedanya mereka sekarang duduk di atap sekolah dengan hembusan angin yang cukup kencang.

"Apa karena gue gak cantik, jadi disia-siain?" lirih Mauri sembari menoleh.

Genus mengangkat alis lantas terkekeh sembari memandang ke depan. "Pas tadi di kantin lo gak dengar apa kata siapa tadi lupa?" Genus berusaha mengingat nama teman sekelasnya itu.

"Bisa aja dia cuma menghibur gue!" jawab Mauri sedih.

"Emang ada, ya cewek yang gak cantik?" tanya Genus membuat Mauri mendelik.

"Dasar buaya!" sentaknya yang tentu membuat Genus terkejut.

"Kok, buaya?"

"Iyalah, ucapan itu cuma keluar dari mulut seekor buaya!" timpal Mauri.

Genus sedikit kesal namun setelahnya dia menunjuk seseorang yang tengah berduaan di bawah sana. "Lihat!" Mauri mengikuti ke mana arah telunjuk Genus.

Miris, tak bisa dipungkiri rasa sayang Mauri masih dalam meski telah disakiti. Buktinya saat melihat seseorang yang Genus tunjuk tak lain adalah Eldra dan Mitha air matanya nyaris luruh. Mungkin jika dia tidak malu dengan Genus air matanya bisa saja mengalir deras.

"Dia baru buaya yang sesungguhnya. Masa baru putus langsung punya gantinya?" cecar Genus yang membuat Mauri seketika menatapnya lekat.

Keduanya saling menatap sebelum akhirnya Mauri membuka suara. "Lo seperti bukan Genus yang gue kenal selama ini!" kata Mauri yang langsung membuang muka.

"Kenapa juga setelah gue kenal Eldra lo seolah mau deket sama gue?" Mauri bangkit dari duduknya membuat Genus kontan mengikuti.

"Karena gue merasa lo orang yang tulus!" jawab Genus kontan membuat Mauri membeku.

Mauri membalikkan badan dan memandang lekat Genus. "Tulus?"

"Senyum lo yang tulus itu terlalu berharga untuk berubah menjadi tangis cuma karena Eldra, Ri. Itu salah satu alasan gue deketin lo!" ungkap Genus tanpa sedikitpun mengalihkan pandangan.

Mauri terkekeh. "Keseringan baca novel lo mah. Lagian kenapa suka banget baca buku unfaedah gitu?" tutur Mauri sembari beranjak meninggalkan Genus yang terkejut akan ucapannya.

"Kata siapa novel buku unfaedah? Awas ya lo pasti bakalan ketagihan kalau udah baca!" teriak Genus yang tak Mauri hiraukan.

Sebenarnya Mauri pergi hanya untuk menyembunyikan air matanya yang sejak tadi ingin luruh. Tepat di balik pintu atap dia meluruhkan air mata tanpa terisak. Kedua tangannya mengepal kuat setelah mengingat semua kemesraan Eldra dan Mitha di depan matanya.

"Apasih! Kenapa gue harus nangis cuma karena cinta?!" monolognya yang merasa bodoh karena cinta.

"Ayo Mauri... lo pasti bisa, dan ingat awalnya dia juga gak ada!" tegas Mauri sembari mengatur deru napasnya dengan cara mengelus dada.

Dengan cepat dia menyeka air matanya dan berusaha tersenyum. "Mauri yang dulu harus kembali!" Dia berusaha meyakinkan dirinya sebelum akhirnya meninggal area atap.

Miris, ternyata sejak tadi Genus mendengar semua yang terjadi pada Mauri di balik pintu dengan raut yang sulit dijelaskan.

"Apa sesakit itu Ri?"

***

Bersambung...

Sesal! Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu