7_Waktu

5 0 0
                                    

Billy berjalan dengan langkah percaya diri, ini kesempatan yang tidak akan dia dapatkan lagi. Billy sampai di ambang pintu dan melihat Ananda sedang membantu Mitha duduk di kursinya. Billy mundur beberapa langkah, mengintip ke dalam kelas sebisanya.

"Yakin gak mau gue temenin dulu?" Tanya Ananda.
"Iya, sebentar lagi pendamping gue datang kok." Jawab Mitha, samar-samar Billy dapat mendengar pembicaraan Ananda dan Mitha.

"Yaudah, gue tinggal ya." Ananda bersalaman, kemudian keluar dari kelas. Billy memundurkan badannya, bersembunyi di balik pilar. Setelah Ananda lewat, Billy masuk ke kelas dan duduk di bangku Rangga.

Bangku yang tepat berada di samping Mitha, bangku yang bisa dia tempati beberapa hari ke depan sampai Rangga selesai pelatihan.
"Lo udah datang Ga?" Tanya Mitha, Billy berdiri dan menyentuh pundak kanan Mitha, yang artinya "Iya".
"Oh iya Ga, gimana hasil beasiswanya? Lo lolos?" Tanya Mitha. Billy menyentuh pundak kanan Mitha lagi.

"Congratulation, selamat ya." Mitha tersenyum. Dia meraba-raba pundaknya, Billy mengulurkan tangannya dengan cepat Mitha meraihnya dan menjabat tangan Billy.

Billy menarik tangan Mitha dan menuliskan huruf per huruf menjadi sebuah kalimat di telapak tangan Mitha.
"Terima kasih, semoga lo juga lolos ya masuk Universitas favorit."
"Aamiin, sama-sama." Ucap Mitha, Billy mengusapkan tangannya ke wajah, meng - Aamiin - kan.

Tak lama guru masuk dan pelajaran dimulai, karena Mitha tidak bisa ikut menulis materi, jadi dia mengandalkan pendengaran dan ingatannya. Sesekali dia menulis, tidak rapih memang, tapi jelas itu catatan.

"Billy!" Panggil Bu Risma.
"Iya Bu." Billy terperanjat, dia lupa sedang berhadapan dengan Bu Risma.
"Kenapa kemarin saya lihat, toilet masih kotor?" Tanya Bu Risma.

"Kemarin saya belajar tambahan Bu, jadi tidak sempat ke toilet."
"Saya tahu, tidak ada yang suka dengan hukuman saya. Saya hanya ingin kalian jera, kalau memang kamu tidak suka, kamu bisa berhenti." Ucap Bu Risma.

"Terima kasih Bu." Billy hendak berdiri dan pergi, tapi Bu Risma menahan tangannya.
"Billy, satu hal lagi."
"Iya Bu?" Billy kembali duduk.

"Ada seseorang yang datang kepada saya dan menceritakan tentang kecelakaan yang menimpa Mitha. Dia meminta saya untuk memberitahu kamu, kalau sampai detik ini Mitha tidak tahu penyebab kecelakaannya. Saya tidak akan memihak, kamu tarik sendiri saja kesimpulan dari apa yang saya katakan." Mendengar kata-kata itu Billy terdiam. Dia keluar dari ruangan Bu Risma dan menutup pintunya rapat-rapat.

Billy melihat kearah Mitha yang duduk menunggunya.
"Udah Ga?" Tanya Mitha. Billy duduk di samping Mitha dan menyentuh pundak kanan Mitha.

"Mitha," seorang perempuan berkemeja dan berjas datang mendekati Mitha.
"Tante udah datang ya, oh iya kenalin tante, ini Rangga Liden. Rangga ini tante Lia, sepupu jauh almarhum papah." Billy menjabat tangan Lia.

"Ayo Mitha, kita ada janji kontrol rutin." Lia melepaskan tangan Billy dan memapah Mitha pergi.
"See you Ga." Mitha melambaikan tangannya.
"Bye Mith." Ucap Billy lirih. Di hati kecilnya, Billy ingin sekali berbicara dengan Mitha seperti kemarin-kemarin.

Drrrt...

Billy mengangkat telepon yang masuk dari ibunya.

"Iya bu... Bima anfal?... Iya Billy sekarang kesana." Billy berlari menuju parkiran dan segera membawa motornya kearah rumah sakit.

+--+

Saat mentari sudah hilang sepenuhnya, Mitha yang baru pulang dari kontrol rutin sedang terdiam sambil menopang dagu di dalam mobilnya. Membayangkan apa yang ada di balik kaca transparan mobilnya. Yang hanya bisa dia liat hanya hitam, gelap, padahal matanya terbuka.

"Hari ini pengumuman hasil seleksi masuk universitas." Ingat Lia.
"Oh iya ya, semoga Mitha lolos." Mitha mengusapkan wajahnya meng-Aamiin kan doanya.
"Saya bersyukur Mitha sudah ceria kembali." Lia memutar kemudinya masuk ke sebuah perumahan. Dengan sebuah patung besar, berbentuk tangan yang menggenggam menyambut mereka.

"Seseorang pernah bilang, waktu tidak akan berhenti hanya karena kita menghadapi masalah. Kita yang harus menentukan, mau mati meninggalkan hutang atau mati meninggalkan budi." Ucap Mitha.

Mitha bersyukur dengan keadaannya sekarang, mungkin jika dia bisa melihat keadaan orang tuanya sebelum di makamkan, bisa saja dia bunuh diri. Sekarang Lia adalah satu-satunya keluarga yang Mitha miliki. Bertahun-tahun dia tinggal bersama Lia, Mitha baru menyadari kalau Lia selalu beraroma kue yang baru keluar dari oven, harum.

Mobil berhenti didepan sebuah rumah bercat hijau dengan pintu dan jendela berwarna putih. Lia turun dan membukakan pintu mobil untuk Mitha.

Reza keluar dari rumahnya yang bersebrangan dengan Mitha.

"MIMI GUE LOLOS SELEKSI, POKOKNYA BESOK KITA HARUS RAYAIN." Reza berteriak kegirangan, suaranya sangat keras sampai membuat Mitha memejamkan sebelah matanya. Mitha tertawa kecil, kemudian keluar dari mobilnya.
"Selamat ya, jangan lupa ajak Dhita." Sambil berlari kecil Reza mendekati Mitha.

"Gak bisa kita berdua aja? Ada sesuatu yang pengen gue tunjukkin sama lo." Ucap Reza sambil memapah Mitha masuk ke rumah.
"Za, Ditha pacar lo, dia juga sahabat gue, gue gak enak lo prioritasin gue diatas dia." Mitha mengulum bibirnya.
"Dia bisa jaga diri, dia bisa melihat, lo lebih butuh gue di banding dia." Reza dudukkan Mitha di sofa ruang tamu, ruangan pertama dari pintu masuk.

"Lo pernah mikirin gak sih, gimana perasaan Dhita ngeliat lo perhatian banget sama gue?" Reza terdiam mendengar perkataan Mitha. Kalau dia pikir lagi, dia memang tidak pernah meminta izin ataupun maaf kepada Dhita setiap dia berikan perhatian kepada Mitha.

"Dhita memang bukan gue Za, tapi kalau gue ada di posisi Dhita, gue gak bisa bayangin seberapa besar sakit harus gue tanggung. Memendam rasa cemburu sama sahabat gue sendiri. Sahabat yang udah dianggap adik kandung sama pacar gue." Mitha mengelus punggung Reza. Kemudian menyandarkan kepalanya di bahu Reza. Mitha bisa mencium aroma parfum yang selalu dipakai Reza, wangi cokelat.

"Daripada lo rayain bareng gue, mending lo rayain bareng Dhita." Mitha yang anak tunggal, merasakan hangatnya kasih sayang seorang kakak dari Reza. Tapi itu tidak bisa menutupi kenyataan, Reza hanya tetangganya.
"Gue ajak Dhita, tapi lo tetep harus ikut." Kata Reza. Mitha mengangkat kepalanya dan mengangguk.

"Oh iya, Ananda ajak juga?" Tanya Reza.
"Ajak aja dulu, tapi kayaknya dia gak akan ikut, dia lagi serius banget biar bisa kuliah di luar negeri." Ucap Mitha.

Tak lama Lia datang membawa 2 piring makaroni schotel.
"Nih, dimakan dulu. Saya mau bersih-bersih dulu, syaa gak mau ikut-ikutan kisah cinta anak remaja." Ucap Lia menggoda Reza dan Mitha.
"Iya deh yang mau diseriusin." Celetuk Mitha, Reza tertawa mendengar candaan Mitha.

Mitha Linda : Budak CintaWhere stories live. Discover now