Chapter: Five

125K 10.3K 355
                                    

Untuk kamu, hatiku:

"Carilah lelaki yang melunturkan lipstickmu, bukan maskaramu."

***

Usai merias kliennya, Saras mendesah seraya merenggangkan otot-ototnya. Sebenarnya, bukan fisik yang lelah. Tapi pikirannya.

Masih belum mampu mengalihkan perhatian dari foto yang dikirim Finna, Saras menghela napas. Ia merasa bodoh karena terus menerus dipermainkan. Kalaupun tidak main-main, paling hanya percobaan. Ya, tidak pernah dianggap serius oleh para lelaki yang datang.

Saras menangis dalam diam. Bulan depan usianya genap 26 tahun. Waktu yang Saras idam-idamkan untuk segera menikah dan mengubur seluruh persepsi yang mengatakan hal buruk tentang jalan percintaannya. Tapi sepertinya tidak lagi. Ulang tahun nanti akan sama tragisnya seperti ulang tahun yang sebelum-sebelumnya.

Sejak SMA, Saras memiliki keinginan untuk menikah di usia 22 tahun. Ya, masih terlalu muda. Aneh memang, ia juga tidak tahu mengapa punya pikiran demikian. Tapi itulah harapnya. Ia ingin "pacaran" dalam status sah. Ia menginginkan rasa saling memiliki yang diakui secara agama dan dunia. Ia ingin menikah setelah kuliahnya selesai. Ia ingin bekerja sebagai ibu rumah tangga yang akan menghabiskan waktunya untuk suami dan anak-anak kelak.

Namun, semua harapan itu kandas. Bermula dari ketika ia harus menambah semester di kampus hanya untuk menyelesaikan skripsi yang tidak kunjung selesai. Keinginan untuk lulus dan menikah di usia yang sudah ditetapkan pun kandas. Batin Saras terlalu lelah. Sampai ia memilih meninggalkan semua yang melukai mentalnya.

Ditambah dengan sebuah fakta memilukan tentangnya yang dari dulu belum ada perubahan. Itu juga yang membuatnya perlahan dan semakin meragu akan inginnya. Dengan kata lain, mengubur dalam-dalam harapnya.

Di sini Saras sekarang. Dengan pekerjaan yang memiliki gaji tidak tetap, dengan keadaan tidak punya gelar, dan dengan status yang tidak kunjung berubah sejak ia terlahir di dunia. Sekalipun ia sekarang berjaya dan bisa menghidupi keluarganya, tetap saja orang lain melihatnya bagai sesuatu yang tidak patut dicontoh. Miris.

Jujur, Saras berat melepas keputusannya untuk meninggalkan kuliah. Merelakan gelar S1 yang sudah di depan mata. Saras takut ke depannya ia akan kesulitan menghidupi diri sendiri dan keluarga. Saras takut dirinya dipandang bodoh. Dan yang terpenting, Saras takut jika calon mertuanya kelak adalah orang yang sangat mempertimbangkan pendidikan demi kelangsungan hidup anak dan cucunya yang makmur.

Ketakutan-ketakutan itu semakin terasa mencekik. Tapi Saras hanya dapat berdiam diri mengikuti alur kehidupan.

Apakah Saras akan meninggalkan dunia dalam keadaan mengenaskan seperti ini? Terlebih jika semua hal tersebut berbalik, akankah ia siap menghadapinya? Akankah ia siap menatap masa depan yang tidak pernah terlintas sedikit pun dalam benak?

"Mbak, ini. Ada tambahan lagi buat Mbaknya."

"Eh, nggak usah..." tolak Saras, tidak enak hati. Pasalnya, tarif yang dibanderol jika memakai jasa Saras untuk lamaran itu cukup tinggi! Apalagi jika ia membawa rekannya yang akan menangani gaya rambut atau hijab. Tapi untunglah, kliennya hari ini hanya ingin rambutnya dikonde sederhana sehingga Saras bisa menanganinya seorang diri.

"Ih, nggak boleh gitu. Rezeki jangan ditolak."

Mau tidak mau Saras menerimanya. Kedua matanya pun terbeliak melihat jumlah lembaran merah dalam amplop tersebut. "Ini nggak berlebihan?"

"Rejeki Mbak Saras berarti."

Saras tersenyum kikuk. "Saya jadi nggak enak soalnya..."

Kliennya tertawa. "Ah, Mbak ini. Saya lagi senang banget soalnya. Tadi calon saya muji-muji cantik terus. Saya suka banget sama hasil riasan yang Mbak Saras buat. Anggap aja itu bonus karena udah bikin calon saya jadi makin cinta sama saya. Jangan ditolak lho! Nanti saya marah."

Beauty and the BossWhere stories live. Discover now