Chapter: Nine

98.7K 9.6K 189
                                    

Untuk kamu, hatiku:

"Carilah seseorang yang mengerti bahwa perempuan tidak cukup memiliki satu lipstick."

***

Saras kembali memastikan rumah yang ditujunya sama dengan alamat yang Ben kirim lewat Whatsapp. Ya, keduanya memang bertukar nomor. Saras sempat ragu untuk memberikannya, tapi selama konteks yang dibicarakan tidak melenceng dari pekerjaan, Saras akan merespons.

"Cari siapa, Non?"

"Eh?" Saras kemudian tersenyum pada satpam yang berjaga di gerbang. "Apa benar ini rumah... Keira?" tanyanya, mengganti nama Ben yang sudah akan terucap, menjadi nama adiknya.

"Oh, iya betul." Satpam tersebut bergegas membuka gerbang dan mengamati Saras dari atas hingga bawah dengan hati-hati. "Si Non yang mau dandanin Nyonya, ya?"

Meskipun ragu, Saras mengangguk. Entah nyonya siapa yang dimaksud bapak itu. Semoga saja ia benar merias mamanya Ben, bukan yang lain.

"Ya udah atuh masuk aja, Non. Udah ditunggu Tuan Ben."

Saras mengerjap-ngerjap mendengar panggilan satpam untuk Ben. Perempuan itu tertawa dalam hati, merutuki kebodohannya karena telah mengira Ben menyukainya. Padahal, sebanding saja tidak. Bagaimana bisa disebut pantas?

"Syukurlah kamu nggak nyasar." Sosok Ben muncul dari dalam rumah untuk menemui Saras. Senyum manis di wajah tampan itu entah mengapa menjadi sangat berbahaya bagi Saras. Apalagi ini masih terlalu pagi! "Ayo, masuk. Udah ditunggu Mama."

Untuk ukuran akan-melamar-seseorang dan pastinya bertemu dengan keluarga pihak perempuan, penampilan Ben cukup sederhana. Tanpa batik apalagi jas. Lelaki itu hanya mengenakan kemeja warna biru langit yang lengannya digulung sampai siku serta celana panjang hitam. Sangat sederhana. Tidak seperti penampilannya saat muncul di pernikahan Fanni dan Erga.

Melihat Ben sudah berbalik badan dan mulai melangkah, Saras terburu-buru mengekorinya. Perempuan itu sudah dibuat takjub dengan bangunan rumah Ben yang tampak seperti istana dari luar, lalu sekarang semakin dibuat terkagum-kagum akan interiornya.

Dari mulai beberapa furniture bernuansa putih dan emas yang terbuat dari kayu bubinga asal benua Afrika, hingga lantai jenis roman bermotif marble yang juga memiliki warna senada. Lukisan-lukisan Eropa raksasa bertema klasik yang menghiasi beberapa sisi ruang, serta kehadiran lampu gantung besar yang dihiasi berlian membuat tempat tersebut semakin berkilau.

"Kamu sendirian?" tanya Ben basa-basi.

Ah, satu lagi. Rumah Ben sangat luas sampai Saras baru menyadari bahwa langkahnya tidak kunjung usai membuntuti ke mana Ben akan membawanya. "Iya. Rekan saya lagi sakit."

Ben mengernyit. "Kalau rekan kamu ikut, biasanya dia ngapain?"

"Bantuin saya pastinya. Dia cukup terampil buat hair do. Jadi, cukup melengkapi saya."

"Perempuan juga?"

Pertanyaan itu entah mengapa terdengar lucu di telinga Saras. Sudut bibirnya pun tertarik samar. "Iya," responsnya singkat.

Ben memanggut-manggut. "Jadi, kamu khusus make up aja ya?"

"Saya bisa juga menata rambut sih, cuma gaya yang sederhana aja. Nggak begitu terampil kayak rekan saya soalnya."

"Kebetulan sih, Mama saya nggak suka rambutnya diapa-apain." Ben tersenyum manis. "Kamu aman."

Saras hanya membalas senyumnya dengan tak kalah manis.

Beauty and the BossWhere stories live. Discover now