Chapter: Six

120K 10.9K 305
                                    

"Sa, lo tahu nggak? Ternyata dia owner dari hotel tempat nikahan gue!"

"Hmm, terus?"

"Dih?! Ini bukan cuma direktur apalagi manajer biasa gitu lho! Pemilik!"

"Yaaa, terus?"

"Terus terus! Lo nggak tertarik?"

Saras mendengus. "Mau seorang Raja sekalipun, kalau nggak serius sama gue buat apaan, Fin?"

Sejenak Finna tidak bersuara. "Tapi Sa, ternyata dia baik juga. Dia yang bantuin laki gue buat bisa nikah di sana. Lo tahu, kan, seberapa besar gue pengin nikah di atas rooftop dengan pemandangan kota yang canggih abis? Terus ini bukan sekadar hotel bintang lima biasa. Ini Saint Wijaya Hotel, Sis. Duh! Laki gue bahkan bilang, dia gampang banget deal harga meskipun biayanya nggak sesuai. Ralat! Jauuuuh nggak sesuai!"

"Nggak sesuai yang lo maksud seberapa sih, Fin? Laki lo, kan, udah tajir. Kalau dipaksain mungkin bisa kali tanpa bantuan juga. Paling beda tipis, makanya dia bisa deal-in harga segitu. Lagian, aneh. Masa sih hotel kalangan menengah atas kayak gitu bisa ditawar kayak mau beli tempe di pasar aja? Mungkin hotelnya lagi sepi? Jadi, mikirnya mending ngasih daripada bangkrut."

Jiwa Finna di seberang seperti ditarik paksa mendengarnya. "Anjrit! Pedas banget mulut lo. Balikin Saras gue yang pesimis aja kalau gitu, jangan yang kejam!"

Saras tertawa. "Lagian sih. Lo kayaknya semangat banget memperbaiki image itu orang di mata gue."

"Ya karena menurut gue tindakan dia tuh dermawan. Emang sih, kelihatannya kayak nggak mungkin hotel besar kayak gitu bisa negosiasi harga. Tapi Sa, apa sih yang nggak mungkin kalau owner-nya sendiri yang ngizinin?"

"Gimana soal cewek yang dia bawa? Bisa dijelasin?"

"Errr... kalau itu gue nggak tahu sih."

"Nah."

Terdengar embusan napas dari seberang. "Seandainya itu orang bener-bener aja ya, gue pasti seneng banget karena lo bisa buru-buru nyusul," gurau Fanni.

Saras hanya tersenyum meskipun Fanni tidak dapat melihat ekspresinya. Terlebih kilat kesedihan di balik kedua matanya.

Saras tidak yakin jika suatu saat pun dia akan menemui jodohnya, ia akan segera menikah. Masih banyak sekali hal yang perlu dipersiapkan sebelum mengikat janji suci secara sah seperti itu. Saras tahu, menikah tidak segampang dan seindah yang teman-temannya perlihatkan di media sosial.

Menikah itu bukan hanya tentang sepasang insan, tapi juga menyambung tali persaudaraan antara keluarga besar kedua belah pihak. Tidak cukup dengan cinta, tapi juga persetujuan dan kecocokan keluarga yang bersangkutan. Tidak cukup dengan janji akan membahagiakan, tapi kematangan dan usaha penuh untuk menciptakan hidup harmonis dan makmur. Setidaknya itu menurut Saras.

"Sa? Kok diam? Jangan mikirin nggak-nggak lo!"

Saras berdecak. "Bukan hal baru buat lo kali kalau pikiran gue penuh yang aneh-aneh."

"Lo nggak lagi mikirin malam pertama gue pakai gaya apa aja, kan? Tenang, Sa. Gue anti bucin. Jadi, woman on top is the best for me."

Sebelum tawa menggelegar Finna terdengar, Saras langsung memutuskan sambungan.

***

Sudah dua minggu berlalu sejak ia bertemu Ben. Ya, untuk pertama dan terakhir kalinya.

Saras mendengus kesal karena pemikirannya sendiri. Mengapa sosok itu tidak kunjung enyah dari kepalanya? Apakah semua ini karena Saras menyukai lelaki itu?

Beauty and the BossWhere stories live. Discover now