4. Jika Tidak Peduli

12.8K 2.3K 1.2K
                                    

Bagian Empat

Bukan sayang namanya kalau diam-diam malah menghilang, kemudian setelah waktu berlalu eh kembali datang. Situ manusia atau kucing jantan yang pengin kawin?—Inggridia Sharma

Karena tidak ada luka yang benar-benar sembuh secara sempurna, selalu ada bekas yang ditinggalkannya—Aruna Fiogani

-Happy Medium-

BMW bewarna putih terlihat begitu ciamik memasuki perkarangan rumah menuju garasi samping, lantas ketika ingin masuk Land Cruiser berwarna hitam yang tampak raksasa jika dibanding BMW itu menghalangi laju si putih.

Pengemudi BMW langsung menekan klakson panjang, meminta pengemudi Land Cruiser itu untuk mundur. Bukannya mengalah, pengemudi si hitam membalas klakson panjang mobil putih itu, tak kalah panjang. Terjadi adu klakson di perkarangan rumah tersebut, sontak membuat satpam yang tadi setia menjaga pos depan bergegas melerai keduanya.

"Minggir!" sentak pengemudi si putih setelah duluan membuka jendela . "Gue mau masuk."

Tidak terima dibentak, pengemudi si hitam ikut-ikutan membuka jendela. "Abang yang minggir, gue mau keluar."

Pengemudi putih yang dipanggil abang tadi, tak lain adalah Fio—lelaki bertampang datar itu terlihat begitu malas meladeni Geo—si pengemudi hitam yang tampaknya semenjak pulang ke Jakarta selalu saja menjadi gara-gara kepadanya.

"Ngalah Bang sama adik sendiri." Andalan Geo kalau sedang bertengkar dengan Fio.

Fio yang benar-benar tidak punya banyak waktu untuk meladeni Geo memilih untuk memajukan mobilnya, lebih dekat, hingga bamper depan mobil tersebut saling beradu.

"Tabrak, paling mobil abang yang hancur," sambut Geo senang.

Jelas meskipun harga mobil yang dikemudikan abangnya itu selangit, BMW 7 Series—si mungil dengan harga lebih dari 2 miliyar. Tetapi tenang saja, mobil mahal itu sebanding kok dengan mobil yang dikemudikan Geo, Land Cruiser 4.5 SUV yang mati-matian membuat Geo menabung beberapa tahun. Taksiran harganya juga sebandinglah dengan BMW milik abangnya. Bukan sombong ya,ya tapi gimana, kenyataannya seperti itu.

Fio yang tahu seberapa keras kepala adiknya itu menggeram kesal. Menolak membalas, Fio menekan klakson berulang kali.

Pakde Joyo, laki-laki berusia hampir kepala empat dan sudah mengabdi dengan keluarga tersebut semenjak si kembar berseragam putih biru, paham betul bahwa semakin tua keduanya semakin tidak akur.

"Abang sama adik, udah ya," kata Pakde Joyo. Dia berdiri di tengah-tengah dua mobil mahal itu, berusaha untuk melerai. Karena sudah kenal keduanya semenjak kecil, Pakde Joyo juga memanggil mereka dengan sebutan yang sering kedua orang tua mereka panggilkan—Abang dan adik.

Fio menarik napas dalam, tidak memedulikan ucapan Pakde Joyo. Ia malah semakin menekan klakson mobil kuat-kuat, berharap kembarannya itu sadar diri dan memberinya jalan.

Geo melongokan kepalanya dari jendela mobil, kemudian berteriak. "Bang! Lo mau bikin sekompleks budek apa?"

Pakde Joyo menggelengkan kepala, lima hari semenjak kepulangan Geo tampaknya suasana rumah yang biasanya sepi menjadi ramai—ya diramaikan dengan adu mulut kembar tersebut.

Geo yang makin tidak sabaran melihat sifat abangnya itu langsung turun dari mobil dan bergegas menuju Fio. Memang perkara begini saja bisa panjang kalau kembar ini beradu. Geo yang tidak sabaran dan Fio yang malas mengalah.

Sampai di hadapan Fio yang masih dengan santai menekan-nekan klakson, Geo mendengus. "Kita ini udah 27 tahun Bang, kenapa sih sikap lo masih kayak anak-anak?"

Happy MediumWhere stories live. Discover now