8. Tetangga Depan

8.6K 1.6K 412
                                    

Bagian Delapan

Tetaplah mengagumi, walalupun dia tidak berpotensi kamu miliki—Geofani Sandaya

Pahamilah bahwa anak bukanlah perwujudan dari mimpi orang tua yang tidak bisa digapai saat masa muda. Setiap anak berhak memilih masa depannya sendiri. Boleh jadi kemauan orang tua, bukanlah keinginan anak—Inggridia Sharma

-Happy Medium-

"Kamu masih ngerjain video-video nggak jelas itu?"

Pertanyaan itu dilayangkan oleh seorang wanita berlipstick merah gelap yang duduk tepat di hadapan Inggrid, kontan, tangan Inggrid yang hampir menyentuh gelas minumannya menjadi berhenti. Wajahnya mendongak untuk melihat wanita tersebut, Helenia—kakak wanitanya yang umurnya berjarak hampir tujuhtahun dengan Inggrid.

"Iya, masih aja hidup dengan media sosial kayak gitu. Apa pentingnya sih? Mending kamu kuliah kedokteran biar bisa jadi penerus keluarga," celetukan lain datang dari lelaki yang duduk di samping Inggrid.

Inggrid hanya diam. Satu hal yang paling ia benci di dunia ini adalah acara kumpul keluarga. Sejak dulu, ia paling membenci hal ini, bahkan makin hari, kebenciannya itu makin menjadi.

Ketika Inggrid masih bisu, wanita paruh baya yang baru saja memberikan potongan apel kepada lelaki di hadapannya ikut bersuara, "Inggrid ini keras kepala, kuliah baru tiga bulan sudah drop out. Lihat dua kakak kamu, Yudis sudah jadi dokter bedah dan kerja tetap di Rumah Sakit swasta di Jakarta, terus Helen sebentar lagi pendidikan spesialisnya bakalan selesai, dan terakhir adik kamu, Tika, dia malah dapat beasiswa untuk kuliah kedokteran di Jerman," kata Rumi, mami dari Inggrid.

Inggrid tidak bersuara sedikit pun. Percuma ... benar-benar tidak ada guna.

Darwin—Papinnya yang sedari tadi cuma diam, ikut menimpal, "Dia memang nggak bisa diandalkan. Jadi percuma saja kita bicara panjang lebar."

Helen mendengkus, kepalanya geleng-geleng menatap adik perempuannya itu. Inggrid ini seperti tidak memiliki garis keturunan keluarga Sharma saja.

"Inggrid-Inggrid, kamu tuh enak kali Grid. Akses kamu terbuka lebar, siapa yang nggak kenal papi kita di bidang kedokteran? Pernah menjabat ketua umum Ikatan Dokter Indonesia, Terus Bang Yudis dan Mbak juga sudah mulai punya nama sendiri. Bahkan nih, Tika juga bisa beasiswa kedokteran di Jerman. Kamu kenapa sih Grid?

"Iya sampai kapan kamu mau gitu-gitu aja dan nggak mikirin mas depan kamu?" timpal Bang Yudis.

Sebenarnya, ada banyak kalimat yang Inggrid lontarkan untuk menjadi pembelaan. Tapi Inggrid rasa semuanya percuma, kumpul keluarga seperti ini hanyalah ajang keluarganya untuk mencaci maki apa saja yang ia lakukan. Tidak pernah sekali pun Inggrid diizinkan untuk berkomentar apalagi membela dirinya.

Sejak kecil, Inggrid memang selalu menjadi yang paling belakangan.

Saat Bang Yudis berhasil menjadi dokter bedah sesuai dengan keinginannya, Inggrid malah dapat nilai merah di beberapa mata pelajaran.

Saat Mbak Helen lulus undangan untuk kuliah kedokteran, Inggrid bahkan tidak lulus satu pun tes untuk melanjutkan pendidikan setelah SMA.

Bahkan, di saat adik bungsunya setahun yang lalu mendapat beasiswa kuliah kedokteran di Jerman, Inggrid di-drop out dari kampus karena keseringan membolos.

Sebagai anak ketiga dari keluarga Sharma, tidak ada satu pun keluarganya yang membanggakan Inggrid. Agenda kumpul keluarga seperti ini hanyalah ajang menyindir masa depan Inggrid bagi keluarganya.

Happy MediumWhere stories live. Discover now