8. Ternyata Arzas Berbohong Padaku.

22 10 0
                                    

TADINYA kukira Andre yang menolongku, ternyata Arzas. Dan anehnya aku malah diam ketika melihat pria itu. Mata kami bertemu beberapa saat. Lalu Arzas memutusnya.

"Ayo," ajaknya sambil memapahku ke kursi taman. Aku menurut saja. Lantas kulihat ada seorang prajurit memberikan sebuah kotak.

"Permisi, Tuan. Ini kotaknya," kata prajurit itu. Arzas pun menerima kotak berwarna cokelat yang lebih mirip kotak amal di masjid-masjid.

"Terima kasih," balas Arzas.

Tanpa banyak bicara, Arzas membuka kotak itu. Ternyata isinya tak jauh berbeda dengan kotak P3K. Ada kain, botol alkohol-- sepertinya, obat merah, plester, kasa, dan semacam silet lipat. Hey? Untuk apa benda itu?

"Jangan melihat. Hadap depan atau tutup saja matamu," Arzas mengarahkanku. Sebenarnya aku ingin tahu apa yang akan dilakukannya, tapi entah kenapa aku mengikuti perintahnya.

Kurasakan seperti ada benda halus yang menyapu lukaku dengan pelan. Benda itu dingin, tapi rasa sakitnya masih terasa. Aku meringis, menekan gigi-gigiku, dan merapatkan bibirku untuk menyalurkan rasa sakit itu.

Usapan kedua, rasanya masih sama. Lalu usapan ketiga mengakhiri tahap yang kuyakini adalah tahap pembersihan luka.

Kemudian, semua yang Arzas lakukan terasa sakit. Aku tidak tahu mengapa sakit, tapi aku sampai menangis menahan keperihan ini.

"Tahan," ujarnya menenangkanku. Namun aku tak kunjung tenang.

Ini lebih sakit daripada mendengar kedekatan Andre dan Kamelia.

Tak lama kemudian, sepertinya sudah selesai. Aku tidak merasakan pergerakan apa pun di lenganku. Lantas aku membuka mata dan mengerjap beberapa kali. Uff, lega.

"Kau menangis? Apa terasa sangat sakit?" Aku melihat ke arah sumber suara. Arzas memberiku sebuah sapu tangan. Benda itu langsung kugapai dengan tangan kiriku.

"Tentu saja, Kromer. Kau kira manis?" jawabku dengan penekanan sambil menghapus air mataku dengan sapu tangan.

Samar-samar kulihat Arzas menyandarkan punggungnya di kursi. "Berterimakasihlah kau itu! Kalau sampai terlambat, lukamu tidak akan tertutup."

"Terima kasih!"

Aku meletakkan sapu tangan di antara kami. Bersamaan dengan itu, Arzas melontarkan pertanyaan.

"Kenapa kau tidak melawan tadi?" Begitu tanyanya.

Lalu aku berpikir. Aku pun tidak mengerti mengapa tidak melawannya. "Tidak tega," sahutku.

"Cih, alasan."

Aku meliriknya.

"Aku tahu kau tidak akan pernah menyerang orang lain. Walaupun kau selalu mengancam, itu semua hanya omong kosong." Arzas mengatakannya, meremehkanku.

Hey!!

"Aku ini masih sadar diri kau tahu!! Dia itu saudaraku!!" Aku mengelak. Rautku yang awalnya menyedihkan, kini kembali murung karenanya.

Arzas melengos. "Yakin hanya karena itu? Bukan karena takut?"

Aku mengernyitkan dahiku. "Apa maksudmu?" Nadaku merendah.

Tiba-tiba ia kembali menatapku dengan tatapan keheranan. "Jangan bilang kau belum tahu dia anak siapa."

"Tentu saja anak--"

"Anak Zeus!" timpalnya sebelum aku menyelesaikan tebakanku.

Tapi ... hey?

"Huh?" Aku tidak mengerti, atau lebih tepatnya aku tidak percaya. "Jangan mengada-ada kau, Azazil!"

Nymphaea (1) ✔Where stories live. Discover now