10. Epilog

27 12 0
                                    

SEMINGGU berlalu setelah kejadian itu. Tuhan masih berpihak padaku, karena aku selamat, dan sehat wal afiat sekarang ini. Aku masih bisa berenang-renang di sini, di bawah laut.

Tadinya aku pikir, aku benar-benar akan mati. Kau tahu, membayangkan saja terasa ngilu.

Omong-omong, aku sungguh ada di dalam laut. Bukan karena keinginanku. Melainkan karena seseorang yang bodoh, menjatuhkan jam tangannya dari atas speed-boat.

Jika kau bertanya aku memakai alat apa, jawabannya bukan aqualung apalagi snorkel. Karena aku menyelam tanpa alat.

Di bawah sini kulihat kondisi dasar laut tidak terlalu menyedihkan. Walau tetap ada sampah, tapi masih terhitung jari. Dibanding dengan laut-laut lainnya, ini masih sehat.

Aku menemukan jam tangannya berada di dekat bebatuan dan koral. Tidak lama-lama lagi, aku pun mengambilnya dan bergegas berenang menuju pantai. Walau jujur, aku masih ingin reuni dengan ikan-ikan ini.

Setelah kulihat perairan makin dangkal, aku pun mencoba berdiri. Lantas aku berjalan keluar dari air. Ketika kakiku menginjak bibir pantai, kulihat sebuah speed-boat bertengger jauh di kiriku.

Kemudian, kulangkahkan kaki ke depan, ke arah meja kursi dengan payung besar di atasnya. Menghampiri orang bodoh itu. Kuletakkan jam itu di atas meja. Menyambar segelas es jeruk, lalu duduk menyandar dan mulai menikmatinya.

"Terima kasih," ucapnya. Kubalas hanya dengan dehaman.

Tunggu, aku baru sadar orang ini sedang makan. Seingatku, es jeruk ini, aku juga tidak memesannya. "Siapa yang memesan?" tanyaku pada orang yang tengah menikmati semangkuk mie kuah di depanku.

"Aku."

"Lalu yang membayar?" Ini aku tanyakan, pasalnya setiap kali dia memesan, selalu aku yang mengeluarkan uang.

"Tentu saja kau."

Aku berhenti meminum es jeruk. Gelas itu aku taruh di atas meja. "Hey, Megalodon! Apa kau ingin aku bangkrut seketika, huh?!"

Orang yang dari tadi menyeruput kuah mie berwarna merah itu akhirnya menatap mataku. "Kau sendiri yang bilang akan mentraktirku, hey! Jangan pura-pura lupa."

Aku jengah. Selamanya Arzas akan terus menyebalkan. "Tapi tidak setiap hari ataupun selamanya, Burung Hantu!!"

"Salahmu sendiri, tidak memberi jangka waktu."

Aku memejamkan mataku dengan gemas ketika ia kembali menyantap mie itu. Tapi kembali terbuka saat ponselku bergetar. Benda itu ada di meja, tadi aku titipkan pada Arzas.

Kulihat notifikasi, ternyata dia. Aku melengkungkan senyum. Bahagia sekali.

Kak Dwi 💜
kau di mana?

Lalu benda pipih ini menampilkan panggilan dari kontak yang sama. Langsung kutekan tombol hijau dan mendekatkannya ke telinga.

"Halo?" awalku.

"Aku sedang di supermarket, kau ingin pesan apa?" Ternyata kakakku ini menawarkan sesuatu.

"Belikan aku yang pedas-pedas saja. Aku sedang sangat emosi sekarang." Aku mengatakannya sambil melihat intens ke arah Arzas. Pemuda itu, aku sebal sekali! Hih!

"Ya sudah. Sampai nanti."

Setelah panggilan berakhir, aku kembali meminum es jeruk sambil bersandar di kursi.

"Makanlah dulu," kata Arzas. Membuat bola mata ini melirik padanya. Ia memang memesan satu mangkuk lagi untukku. Tapi aku tidak ingin mie, aku ingin dompetku selamat!

Nymphaea (1) ✔Where stories live. Discover now