06. Let Me

1.2K 183 28
                                    

Taeyong masuk ke dalam rumah, tapi dia tidak berani pergi langsung ke kemarnya. Sebab dia tahu di mana Johnny berada. Sementara jaket yang diberikan Johnny masih menempel manis di bahunya, menutupi sebagian tubuhnya yang jelas lebih kecil. "Raksasa itu," gumamnya, "aku tidak mengerti apa yang ada di pikirannya." Tapi rasanya dia tidak ada pilihan lain selain masuk lebih jauh, melihat kenyataan yang sudah dibayangkannya.

Sepasang mata itu melihat sosok yang berbaring tengkurap, memperlihatkan punggungnya yang terlihat lelah memikul beban. Taeyong menggantung jaket Johnny dengan rapi sebelum mengganti pakaiannya ke piyama yang lebih nyaman. Kemudian Taeyong merapikan selimut untuk menutupi tubuh Johnny. Ya, Johnny tidur di kamarnya karena kamar yang kosong digunakan Mark.

Setelah kejadian tadi, dia ragu dan berencana untuk tidur di kamar Haechan dan Jisung bersama bocah-bocah itu. Namun tepat ketika knop pintu di putar, sebuah suara terdengar. "Ke mana lagi? Kamu enggak mau tidur sama aku?" tanyanya, tubuhnya berbalik, dan kemudian mengambil posisi duduk.

Tanpa berbalik arah, Taeyong yang masih memegang knop pintu itu berkata, "Aku mau tidur sama Jisung." Taeyong benar-benar berusaha keluar dari kamarnya sendiri, namun kakinya membeku, pun tangan Johnny sudah menggenggam pergelangan tangannya. Mencegah Taeyong untuk enyah dari sisinya. "Kenapa?" tanya Taeyong, kepalanya mendongak untuk melihat wajah Johnny lebih jelas lagi.

"I thought you already knew."

"Iya," kata Taeyong dengan suaranya yang mulai parau, "aku tahu. Tapi kamu tahu apa lagi? Ini salah." Taeyong melepaskan tangan Johnny dari pergelangan tangannya. "Antara kamu dan aku, itu salah. Kamu tahu harusnya enggak kayak gini. Di luar sana—"

"What are you tryna say? Kalo aku harus nikah sama perempuan? Nonsense." Johnny pergi dari sisi Taeyong, kemudian duduk di atas kasur. "I never thought that love was a mistake."

"Apa—"

"Apa jika aku mencintaimu itu artinya aku berdosa untuk itu?"


-o-


Rumah bernuansa tradisional itu menyambutnya dengan suara kucuran air mancur yang indah, begitu pula bunga-bunga di halaman yang terawat dengan baik. Kim Doyoung yang mewakili tuannya hadir untuk menyelesaikan perjanjian yang tertunda. Dia duduk di atas bantal duduk dan lantai yang beralaskan tatami itu ada di sepanjang mata memandang.

Matanya berhenti berkeliling tatkala seorang wanita masuk alih-alih seorang pria yang memang memiliki janji dengannya. Wanita itu diikuti oleh dua orang laki-laki berperawakan seram di belakangnya. Mungkin, pengawalnya. Tapi Doyoung tak ambil pusing karena dia ke sini bukan untuk mencari ribut.

"Konichiwa, Kim-san. Omatase itashi mashita," kata wanita itu dengan bahasa Jepang standar yang terdengar kaku, berbeda dengan pria yang seharusnya datang menemui Doyoung. "Suami saya sedang berada di luar dan belum kembali, jadi sekiranya ada yang bisa saya bantu mengenai pertemuan kalian, akan saya bantu semaksimal yang saya bisa."

Doyoung memiringkan kepalanya ke kiri sedikit, menilai apakah wanita ini bisa dipercaya atau tidak. Tapi Doyoung justru mendapat tatapan tajam dua pria di belakangnya. "Oh, jadi Nakamoto-san sedang keluar. Saya hanya ingin menyampaikan surat kontrak yang harus ditandatangani oleh beliau menggantikan Tuan Suh. Tapi saya rasa, saya akan menunggu Nakamoto-san saja."

Wanita itu mengangguk dan mereka berakhir dalam situasi canggung karena harus berhadapan satu sama lain. Doyoung menyesap teh hijau yang dihidangkan padanya juga dengan canggung. Wanita di hadapannya, bagaimana pun, adalah seorang istri jadi dia tidak merasa nyaman berhadap-hadap dengan istri orang lain.

Situasi canggung itu terus berlanjut, begitu pula Doyoung mulai bertanya-tanya di dalam benaknya. Mereka di rumah, tapi harus menggunakan kimono—entahlah, mungkin Doyoung salah. Karena dia pun tak begitu tahu, dan rasanya tidak perlu mencari tahu lebih lanjut lagi.

Kecanggungan itu berakhir manakala seorang pria akhirnya masuk ke dalam ruangan dengan senyumannya yang lebar. "Omatase itashi mashita, Kim-san," ujarnya dan segera duduk di samping istrinya. Nakamoto Yuuta sudah kembali dari luar, entah ada urusan apa, dan entah dari mana. Rasanya Doyoung juga tidak perlu tahu. "Kaoru, masuk sana. Aku enggak mau kamu di sini. Biar aku yang urus." Yuuta bicara dengan dialeknya dan dituruti oleh istrinya sehingga istrinya itu berpamitan dengan membungkuk dan pergi dari ruangan meninggalkan Yuuta dan Doyoung berdua.

"Seperti yang Anda ketahui...." Doyoung memulai tanpa basa-basi. "Saya ke sini hanya untuk menyambung tangan Tuan Suh. Ini surat kontraknya," kata Doyoung sambil menyerahkan amplop berwarna cokelat pada Yuuta yang disambut dengan baik. "Tuan Suh sudah menandatangani dan juga sudah mengecapnya. Kami menyetujui untuk expand bisnis kami di Jepang akan ditangani oleh Anda."

Yuuta mengangguk-angguk melihat dokumen itu. Dia tidak banyak bicara lagi dan menandatangani dokumen. Dua buah dokumen, yang masing-masing akan disimpan masing-masing pihak. Setelah mendapatkan kembali dokumen yang harus disimpannya, Doyoung berdiri dan pamit untuk pergi.

"Untuk Suh-san," ujar Yuuta tepat ketika Doyoung berdiri, "saya tidak tahu mengapa harus Anda yang datang ke sini alih-alih dia. Bisakah Anda sampaikan salam saya kepada beliau? Juga, anak-anak beliau. Ah, tambahan, saya rasa Suh-san perlu beristri. Mengurus anak sendirian tentu sulit kan."

Doyoung mengangguk mendengar itu, kemudian berbalik dan berjalan pergi. Helaan napasnya terdengar berat begitu dia memasuki mobil dan beranjak pergi dari kediaman Nakamoto itu. "Aku rasa Johnny Suh tidak akan memiliki istri kalau dia masih terjebak pada perasaannya," gumamnya pelan. "Pria itu lebih mencintai anak-anaknya." Doyoung menyimpan dokumen itu dalam tasnya dan duduk rapi di dalam mobil. Bergerak kembali ke tempat yang berbeda.


-o-


Pria itu terbangun dan pergi untuk membuat kopinya sendiri. Dia menggelengkan kepalanya sesekali sebelum menyesap kopinya. Pikirannya berorientasi pada kejadian semalam yang tak diinginkannya; selalu seperti itu setiap kali dia tidur. Tidur tidak pernah menyenangkan. Mungkin istirahat adalah kata yang tak tepat untuknya, atau dia tidak perlu istirahat sama sekali sebetulnya.

Saat menimbang kembali pilihannya untuk tetap tinggal atau kembali pergi jauh lagi seseorang bicara padanya dengan lugas, "Jangan pergi dulu." Seseorang itu datang ke hadapannya, tersenyum kecil dan duduk di hadapannya. "Anak-anak seneng kamu di sini, jadi jangan pergi dulu. Semalam itu, enggak apa-apa kok kalo kamu kayak gitu. Aku bisa ngerti," lanjutnya, masih dengan senyuman di wajahnya.

"Tae...." Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar.

Lee Taeyong lagi-lagi tersenyum kecil. Dia menggenggam tangan pria itu dan meremasnya kecil. "Enggak apa-apa, John. Kamu bisa cerita sama aku," katanya dengan suara rendah.

Pria itu, Johnny Suh, tersenyum kecil dan menghela napasnya panjang. "I thought you'll avoid me after all those things," katanya. Dia bersandar pada kursinya, mendongak, dan menatap langit-langit yang dingin. "I thought you'll hate me—"

"Why would I?" Taeyong mengembangkan senyumannya lebih lagi. "Kamu bener kok, jatuh cinta itu bukan dosa. Aku cuma kaget aja semalem, tapi enggak apa-apa." Taeyong masih menggenggam tangan Johnny tanpa disadarinya, dan Johnny membalas genggaman tangan itu.

Johnny tidak hanya menggenggam tangan Taeyong, dia menatap langsung pada pada Taeyong. Untuk beberapa saat mereka hanya diam seperti itu saja. Lalu Johnny berkata dengan suara rendah, "Let me love you. I don't even care whether you love me or not."

WOUND | JohnyongWhere stories live. Discover now