08. Anak-anak Kita

1K 157 20
                                    

Johnny memfokuskan pandangannya pada jalanan. Tapi, dia tidak lupa untuk mengajak anak-anaknya untuk berbincang; selama itu juga dia mengingat bagaimana dia bertemu dengan anak-anaknya satu demi satu. Mereka semua istimewa, tidak terduga, mungkin, Jeno dan Jaemin adalah perwujudan kata istimewa di atas istimewa yang lainnya. Mereka berbeda, namun datang bersamaan, seperti anak kembar. Sampai Johnny dan Taeyong—juga Doyoung—menganggap Jeno dan Jaemin adalah kembar yang sesungguhnya.

"Papa," panggil Jeno, "tadi Jeno nyanyi." Jeno membuat laporan pada Johnny. Membuat Johnny mengeluarkan gumaman yang panjang dengan alis yang terangkat ke atas.

Jaemin yang tidak mau kalah ikut-ikutan berkata, "Sama Jaemin, Pa. Nyanyinya." Meskipun kalimat yang disampaikan Jeno dan Jaemin cenderung memiliki pola yang sama, tapi tetap Johnny dengarkan dengan baik. "Nanti ada pentas."

"Ada undangan," sambung Jeno. "Kita mau nyanyi," kata Jeno lagi. "Papa nanti dateng ya?" Jeno menyampaikannya dengan sangat antusias, disahuti anggukan antusias oleh Jaemin.

Jaemin sendiri mulai meregangkan jarinya, kemudian dia bersikap seolah menghitung. "Nanti Papa dateng, sama Hyung, sama Jae Hyung, sama Woo Hyung, sama Haechan, sama Jisung, sama Uncle Kim juga. Ya?" Jaemin mengabsen satu per satu anggota keluarganya. "Janji ya? Papa dateng ya?"

"Papa dulu enggak dateng." Jeno tiba-tiba menatap Johnny. Johnny sendiri tidak bisa mengartikan tatapan Jeno yang seperti itu. "Jaemin sedih.... Jeno juga. Tapi ada Hyung. Uncle Kim juga. Tapi enggak ada Papa. Jeno sama Jaemin maunya Papa yang dateng. Mau dilihat sama Papa. Temen yang lain papanya dateng. Papa Bear doang yang enggak dateng. Papa janji ya, dateng?"

Tidak Jeno, sayang, itu bukan perasaan sedih. Itu kecewa. Kecewa karena yang kamu harapkan tidak sesuai dengan apa yang kamu dapatkan. Tidak apa. Apa yang diketahui anak 5 tahun? Benar. Kamu masih bisa belajar lagi.

Johnny merenung, meskipun dia tetap berfokus pada jalanan di depannya. Benar, dia ingat itu. Dia mengirim Doyoung dan orang-orangnya yang lain untuk merekam pertunjukan itu. Johnny menontonnya dari jauh, jauh sekali. Dia bahkan masih menyimpan rekaman itu. Namun dalam perspektif Jeno dan Jaemin, alasannya tidak masuk akal.

"Iya, nanti Papa dateng."

"Papa janji?" tanya kedua anak itu bersamaan dengan sangat antuasias.

Johnny tersenyum lebar, sedikit tertawa, dan juga menyiratkan rasa bersalahnya yang tetap tidak akan hilang meskipun dia meminta maaf berkali-kali. "Iya, Papa janji. Papa nanti lihat Jeno sama Jaemin nyanyi ya. Nanti Papa bawa kamera juga, kita rekam, terus nanti nonton lagi di rumah sama yang lain."

Begitu mendengar penuturan Johnny, Jeno dan Jaemin bersorak girang sambil mengepalkan tangannya ke udara. Senyum mereka merekah, melihat satu sama lain dengan penuh arti. Tak heran kalau mereka kembar. Johnny, juga tidak dapat menahan dirinya untuk ikut sesenang. Sesenang perasaan anak-anaknya.

Sebuah pertanyaan terlintas di benaknya, beginikah rasanya jadi papa yang baik? entahlah.


-o-


Johnny memasuki rumah dengan menggendong Jeno dan Jaemin bersamaan. Begitu turun dari mobil, kedua anak itu kompak minta digendong. Alhasil, Johnny menggendong keduanya sekaligus. Sementara itu, tangan Jeno menggenggam sebuah plastik oleh-oleh. Bukannya mengucap salam yang benar, Jeno mengulurkan tangannya sambil tersenyum lebar, menunjukkan mata bulan sabitnya. "Hyung, Hyung, ini dibeliin Papa. Kata Papa buat Hyung."

Tangan Taeyong mengambil plastik itu dan mengintip isinya. Kotak yang ada di dalam plastik itu, dia mengingatnya. Matanya beralih menatap wajah Johnny yang sedikit lebih tinggi darinya. "John—"

"I remember that you love sweets, so I decided to bought some."

"John—"

"That's not a big deal, and I thought that I should treat you with something since you spent most of your youth to babysitting them."

Taeyong tersenyum kecil. Namun dia merasa ada sedikit kesalahan dalam kalimat Johnny. Senyumnya itu juga untuk merespon semburat merah yang tiba-tiba muncul di pipi Johnny. "I'm not babysitting them, they're my children."

"Ours. They're our children."

Kali ini, dengan pernyataan yang keluar dengan gamblang dari mulut Johnny justru membuat wajah Taeyong kontan memerah karena malu. Taeyong memutar badannya, memunggungi Johnny yang masih menggendong Jeno dan Jaemin. Sementara Haechan dan Jisung ternyata tepat berada di depannya, mendongak melihat wajahnya yang seperti kepiting rebus.

"Meeellllaaaaaahhhhh!!!!!!!!!" Haechan berseru sambil menunjuk wajah Taeyong. "Hyung melah tuh!" ulangnya.

"A-aku, aku, aku ke dapur dulu. Kamu di sini sama anak-anak!"

Taeyong berjalan cepat meninggalkan Johnny dan anak-anak. Johnny menurunkan anak-anaknya. Tapi untuk sesaat Johnny baru ingat kalau Jeno dan Jaemin harus mengganti seragam mereka. Sementara dia juga punya Haechan dan Jisung yang tidak bisa ditinggal. Di saat seperti ini, pikirannya kembali ke Taeyong.

Bagaimana Taeyong mengurus enam orang anak seorang diri?

"Papa, did you need help?"

Johnny menoleh, anaknya yang satu lagi menawarinya bantuan. Dengan mata yang membulat karena penasaran. "Kinda," jawabnya singkat. Namun mendengar hal itu, mata bulat yang menatapnya itu berganti menjadi pandangan penuh harap. "You wanna help me?" tanya Johnny pelan yang kemudian disahuti dengan anggukan antuasias. "Okay, Mark, can you watch over you brothers? Haechan and Jisung?"

"Yes, I can."

"Good boy."

Johnny mengusak kepala Mark dengan lembut. Kemudian dia menuntun Jeno dan Jaemin untuk mengganti pakaian sambil berteriak, "Makan kue-nya jangan lama-lama, anak-anak sendirian." Setelah itu dia mengulas sebuah senyuman lebar. Itu karena anak-anaknya sangat menggemaskan da nada alasan lain di balik itu.

Sebab Lee Taeyong juga tak kalah menggemaskan dari anak-anak. "No," gumamnya, "he always been cute since the first day I saw him. Maybe that's why." Johnny tidak pernah memikirkannya. Bahkan, baru saja terpikir olehnya. Dia harusnya lebih sering memberikan Taeyong hadiah dan dia akan mendapat wajah menggemaskan Taeyong sebagai balasan.

Lalu Taeyong, memandangai makanan manis di depannya. Tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya. Ini bukan hal yang baru untuknya, Johnny memang seperti itu. Suka memberi sesuatu di luar hal yang diminta, memberikan kejutan, dan mengingat hal-hal kecil yang mungkin sebetulnya sama sekali tidak penting.

Taeyong meremat tangannya sendiri. Kemudian dia menyimpan makanan manis itu di kulkas. Akan dinikmatinya nanti ketika anak-anak sudah tertidur. Mungkin, setelah Johnny tertidur juga. Taeyong mendengar teriakan Johnny, suaranya yang hangat. Berbeda jika dia di telepon atau pesan teks. Itu pun, Taeyong tidak mengerti kenapa Johnny bisa menjadi sosok yang berbeda, seperti memiliki dua sisi yang berlawanan.

Dia sendiri tidak dapat membuang sosok Johnny dari otaknya. Masih selalu segar di ingatannya bagaimana mereka pertama kali bertemu, berjabat tangan, dan berbincang dengan suara pelan dan menunduk. Johnny, seingatnya, tidak setinggi sekarang. Ah, waktu itu juga ada Doyoung, dan mereka masih bicara dengan sangat santai satu sama lain. Meskipun dengan fakta kalau Doyoung lebih muda setahun dari mereka.

"Doyoung sekarang apa kabarnya ya?" tanya Taeyong kepada udara yang hampa. Tidak ada jawaban. Taeyong duduk bertopang dagu sebelum kembali kepada anak-anaknya—anak-anak mereka. Dia terpikir lagi. Pipinya memerah lagi. "Perasaanku ... apa bener? Johnny itu laki-laki. Aku juga laki-laki. Kenapa aku bisa suka sama Johnny?"

Hening sebentar.

"Aku suka sama Johnny?"

WOUND | JohnyongWhere stories live. Discover now